AKU mengalami minggu yang cukup berat sejak sabtu lalu dimana ada begitu banyak masalah yang datang dalam waktu bersamaan. Cukup berat bahkan sangat berat hingga sempat menggangu kondisi psikologis dan berefek pada susah tidur beberapa malam belakangan.
Bangun dan
tidur dengan keadaan banyak pikiran adalah sebuah malapetaka yang tak
terungkapkan untukku. Sesungguhnya ini bukan kali pertama dalam hidupku diterpa
masalah-masalah seperti ini. Bukannya aku mau bilang yang ini lebih berat,
hanya saja ada kebingungan kali ini adalah dimana aku sudah berdoa, sudah
percaya, sudah curhat padaNYA namun aku masih tetap merasa takut. Ada apa ini?
Dimulai saat hari sabtu lalu (2 Maret) dimana aku didera sakit hati yang parah. Parah, sangkin parahnya aku tidak nafsu makan bahkan rentan menangis. Berat sekali rasanya walau yang berbuat salah bahkan sudah berulang-ulang kali minta maaf. Ah, risiko orang ‘Introvert’ pikirku. Kenapa introvert? Tiga kali test kepribadian yang kukerjakan hasilnya tetap introvert. Aku sudah kehilangan sifat ekstrovertku dan tidak tahu kenapa itu bisa terjadi.
Dimulai saat hari sabtu lalu (2 Maret) dimana aku didera sakit hati yang parah. Parah, sangkin parahnya aku tidak nafsu makan bahkan rentan menangis. Berat sekali rasanya walau yang berbuat salah bahkan sudah berulang-ulang kali minta maaf. Ah, risiko orang ‘Introvert’ pikirku. Kenapa introvert? Tiga kali test kepribadian yang kukerjakan hasilnya tetap introvert. Aku sudah kehilangan sifat ekstrovertku dan tidak tahu kenapa itu bisa terjadi.
Baiklah, aku
kira penyakit sabtu sudah selesai, tapi kenyataannya hingga beberapa hari ke
depan aku tetap tersakiti baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Jangan
tanya kenapa ada kata sengaja? Ya, karena aku mulai gila dan sering sekali
menyiksa diri sendiri. Kata seseorang itu tolol!
Masuk ke
hari selasa (5 Maret) dimana aku harus ngosh-ngoshan
mengurus seminar proposalku. Tidak masalah dengan itu, meskipun waktunya agak ‘rush’ aku berhasil mendapat nilai
tertinggi. Nilai tertinggi bukan karena aku cukup pintar tapi karena dosennya
cukup pengertian dan berbelas kasih.
Masalah di
selasa itu adalah saat aku menghilangkan (lagi-untuk kedua kalinya) barang
orang dan harus menggantinya. Aku ceroboh! Ceroboh parah dan ceroboh luar
biasa! Untuk kedua kalinya menghilangkan barang orang dan harus mengganti
beberapa ratus ribu rupiah di bulan yang cukup banyak pengeluaran ini. Oh
Tuhan, apa ini namanya?
Rasa
bertanggung jawab memang mengharuskan aku untuk menggantinya disamping sulitnya
aku melepaskan barang itu ke tangan si pengambilnya. Guess what? Aku bahkan mendoakan barang itu dan pengambilnya agar
aku ikhlas melepasnya karena sungguh sakit mengingatnya. Ya sudahlah aku
memilih percaya jalan Tuhan saja. Pasti ada pesan dariNYA yang tersemat dibalik
musibah ini.
Masuk selasa
malam, disaat luka karena menghilangkan barang orang lain belum pulih, aku
kembali didera kepedihan luar biasa. Kepedihan yang konsekuensinya hanyalah
menangis dan susah tidur. Susah sekali menghentikan pikiran yang terus-menerus
berpikir kearah itu. Masalah kali ini, lebih berat dari sakit hati sabtu
ataupun musibah selasa. Berat sekali.
Di saat
keterpurukan menghampiriku, aku tahu jalan satu-satunya adalah berdoa. Berharap
pertolongan Tuhan Yesus, berharap belas kasihNYA dann mengadu segala kesakitan
hati adalah jalan satu-satunya agar aku bisa tertidur di malam itu. Cukup lama
aku berdoa, berdoa, dan berdoa hingga bantalku terasa basah karena air mata.
Tapi kurasakan kelegaan yang sungguh bisa membuatku menghela nafas panjang
malam itu. Akhirnya aku berhasil tertidur.
Keesokan
harinya hingga beberapa hari kedepan (atau mungkin hingga aku tuliskan ini) aku
masih harus berperang melawan hati dan pikiranku sendiri. Sisa-sisa kesakitan
itu masih ada, dan pikiran pun tak mau diajak kompromi untuk berhenti berpikir
tentang itu. Dan yang paling parah dari itu semua adalah : AKU TAKUT. Aku takut
menghadapi hari depanku terlebih jika sesuatu yang buruk yang sering
kubayangkan beberapa hari terakhir ini benar-benar terjadi. Oh Tuhan, aku sudah
berdoa, saat teduh hampir setiap pagi ataupun malam sebelum tidur, tapi aku
bingung mengapa aku tak kunjung sembuh?
Minggu (10
Maret) kusadari apa yang membuat ketakutanku tak kunjung sembuh. Seperti ada
suara yang mengatakan “Jika kau masih takut, berarti kau belum
percaya penuh”. Itukah kunci dari segalanya? Tidak cukup percaya saja
tetapi PERCAYA PENUH? Kira-kira beginilah analoginya, antara percaya dan
percaya penuh. Seorang abang meminjam uang pada adiknya hari ini dan berjanji
akan mengembalikan uang itu besok malam. Si adik percaya si abang akan
mengembalikan uang itu. Namun apakah si adik percaya penuh?
Analogi I : Dia percaya tapi masih kuatir.
Setelah si abang meminjam uang itu, ia terus-menerus melihat jam dan berharap
jam itu cepat berputar menuju esok malam agar uangnya dikembalikan. Si abang
memang akan mengembalikan uangnya tapi si adik tetap harap-harap cemas menunggu
esok malam tiba.
Analogi II : Dia percaya penuh. Tidak takut,
tidak kuatir, tidak perlu melihat-lihat jam apalagi menghitung waktu karena dia
tahu abangnya pasti mengembalikan uang itu. Dia tetap santai dan menikmati
waktu demi waktu hingga malam tiba dan si abang datang mengembalikan uangnya.
Sayang
sekali kepercayaanku ada di analogi yang pertama. Aku percaya namun masih
kuatir. Aku percaya namun masih takut. Lantas sia-siakah kepercayaanku itu?
Lalu apa yang harus kulakukan agar aku percaya penuh, bukan sekedar percaya
saja? Masalah demi masalah yang kualami minggu terakhir ini memang cukup sulit
dan rumit, namun membuat keputusann untuk percaya penuh pada rancanganNYA
adalah hal yang paling sulit dari semuanya.
Dari sini
aku sadar betapa sulitnya memiliki iman yang dewasa. Sedih mengetahui bahwa
imanku ternyata masih labil sehingga untuk percaya penuh saja aku belum mampu.
Namun ada tekad dalam hati untuk terus belajar dan berproses karena aku yakin
iman yang dewasa takkan muncul dengan cara yang praktis, harus melalui proses
yang panjang, harus melalui sekelumit masalah dan harus siap ditempa dengan
cara yang menyakitkan.
Sekilas, aku
jadi ingat apa yang menjadi ‘wish’
ulangtahunku Oktober kemarin. Salah satu wishku
adalah agar aku diberkahi kebijaksanaan dan iman yang dewasa sehingga aku mampu
menjadi wanita single-fighter.
Mungkinkah masalah-masalah yang kualami beberapa waktu terakhir ini adalah
jawaban Tuhan atas permintaanku? Mungkin saja DIA sedang tersenyum dari atas
sana seraya berkata : “Loh, gimana sih
anakKU yang satu ini? Bukannya kemarin minta kebijaksanaan? AKU kan ga mungkin
langsung kasih kebijaksanaan, jadi AKU akan kasih masalah-masalah yang bisa
menguji iman dan kebijaksanaannya. Nikmatilah nak! Jika engakau berhasil
menyelesaikannya maka sudah dua wish-mu yang AKU kabulkan!”.
Ya, itulah
harapan terakhirku. Aku berharap semua yang kulalui ini adalah jawaban Tuhan
atas permintaanku sendiri. Permintaan akan kebijaksanaan yang konsekuensinya
adalah masalah demi masalah. Seperti mata pedang yang tajam dan kuat, harus
dibakar dalam panasnya api serta ditempah dalam sakitnya pukulan agar bisa
menjadi pedang yang kuat. Aku percaya wish
ulangtahun itu memang ajaib. Tuhan akan kabulkan jika kita memang pantas
menerimanya, seperti salah satu wish
yang Tuhan langsung jawab satu bulan setelah aku meminta.
Biarlah aku
menikmati proses ini, menikmatinya sebagai bagian dari permintaanku. Ajar aku
untuk bertekun dan bersabar dalam janjiMU ya Tuhan, sehingga aku tidak perlu
takut seperti sekarang. Tuhan mengijinkan masalah demi masalah datang ke
hidupku karena ada pekerjaanNYA yang harus dinyatakan. aku tak boleh berontak
melainkan bersabar karena setelah ini berlalu, aku akan terbang lebih tinggi
lagi. Amin! Tuhan memberkati saya dan kalian yang membaca ini. Praise The LORD!