Senin, 11 Maret 2013

Jika Masih Takut Berarti Belum Percaya Penuh!

AKU mengalami minggu yang cukup berat sejak sabtu lalu dimana ada begitu banyak masalah yang datang dalam waktu bersamaan. Cukup berat bahkan sangat berat hingga sempat menggangu kondisi psikologis dan berefek pada susah tidur beberapa malam belakangan.
Bangun dan tidur dengan keadaan banyak pikiran adalah sebuah malapetaka yang tak terungkapkan untukku. Sesungguhnya ini bukan kali pertama dalam hidupku diterpa masalah-masalah seperti ini. Bukannya aku mau bilang yang ini lebih berat, hanya saja ada kebingungan kali ini adalah dimana aku sudah berdoa, sudah percaya, sudah curhat padaNYA namun aku masih tetap merasa takut. Ada apa ini?

 
Dimulai saat hari sabtu lalu (2 Maret) dimana aku didera sakit hati yang parah. Parah, sangkin parahnya aku tidak nafsu makan bahkan rentan menangis. Berat sekali rasanya walau yang berbuat salah bahkan sudah berulang-ulang kali minta maaf. Ah, risiko orang ‘Introvert’ pikirku. Kenapa introvert? Tiga kali test kepribadian yang kukerjakan hasilnya tetap introvert. Aku sudah kehilangan sifat ekstrovertku dan tidak tahu kenapa itu bisa terjadi.

Baiklah, aku kira penyakit sabtu sudah selesai, tapi kenyataannya hingga beberapa hari ke depan aku tetap tersakiti baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Jangan tanya kenapa ada kata sengaja? Ya, karena aku mulai gila dan sering sekali menyiksa diri sendiri. Kata seseorang itu tolol!
Masuk ke hari selasa (5 Maret) dimana aku harus ngosh-ngoshan mengurus seminar proposalku. Tidak masalah dengan itu, meskipun waktunya agak ‘rush’ aku berhasil mendapat nilai tertinggi. Nilai tertinggi bukan karena aku cukup pintar tapi karena dosennya cukup pengertian dan berbelas kasih.

Masalah di selasa itu adalah saat aku menghilangkan (lagi-untuk kedua kalinya) barang orang dan harus menggantinya. Aku ceroboh! Ceroboh parah dan ceroboh luar biasa! Untuk kedua kalinya menghilangkan barang orang dan harus mengganti beberapa ratus ribu rupiah di bulan yang cukup banyak pengeluaran ini. Oh Tuhan, apa  ini namanya?

Rasa bertanggung jawab memang mengharuskan aku untuk menggantinya disamping sulitnya aku melepaskan barang itu ke tangan si pengambilnya. Guess what? Aku bahkan mendoakan barang itu dan pengambilnya agar aku ikhlas melepasnya karena sungguh sakit mengingatnya. Ya sudahlah aku memilih percaya jalan Tuhan saja. Pasti ada pesan dariNYA yang tersemat dibalik musibah ini.

Masuk selasa malam, disaat luka karena menghilangkan barang orang lain belum pulih, aku kembali didera kepedihan luar biasa. Kepedihan yang konsekuensinya hanyalah menangis dan susah tidur. Susah sekali menghentikan pikiran yang terus-menerus berpikir kearah itu. Masalah kali ini, lebih berat dari sakit hati sabtu ataupun musibah selasa. Berat sekali.

Di saat keterpurukan menghampiriku, aku tahu jalan satu-satunya adalah berdoa. Berharap pertolongan Tuhan Yesus, berharap belas kasihNYA dann mengadu segala kesakitan hati adalah jalan satu-satunya agar aku bisa tertidur di malam itu. Cukup lama aku berdoa, berdoa, dan berdoa hingga bantalku terasa basah karena air mata. Tapi kurasakan kelegaan yang sungguh bisa membuatku menghela nafas panjang malam itu. Akhirnya aku berhasil tertidur.

Keesokan harinya hingga beberapa hari kedepan (atau mungkin hingga aku tuliskan ini) aku masih harus berperang melawan hati dan pikiranku sendiri. Sisa-sisa kesakitan itu masih ada, dan pikiran pun tak mau diajak kompromi untuk berhenti berpikir tentang itu. Dan yang paling parah dari itu semua adalah : AKU TAKUT. Aku takut menghadapi hari depanku terlebih jika sesuatu yang buruk yang sering kubayangkan beberapa hari terakhir ini benar-benar terjadi. Oh Tuhan, aku sudah berdoa, saat teduh hampir setiap pagi ataupun malam sebelum tidur, tapi aku bingung mengapa aku tak kunjung sembuh?

Minggu (10 Maret) kusadari apa yang membuat ketakutanku tak kunjung sembuh. Seperti ada suara yang mengatakan “Jika kau masih takut, berarti kau belum percaya penuh”. Itukah kunci dari segalanya? Tidak cukup percaya saja tetapi PERCAYA PENUH? Kira-kira beginilah analoginya, antara percaya dan percaya penuh. Seorang abang meminjam uang pada adiknya hari ini dan berjanji akan mengembalikan uang itu besok malam. Si adik percaya si abang akan mengembalikan uang itu. Namun apakah si adik percaya penuh? 

Analogi I : Dia percaya tapi masih kuatir. Setelah si abang meminjam uang itu, ia terus-menerus melihat jam dan berharap jam itu cepat berputar menuju esok malam agar uangnya dikembalikan. Si abang memang akan mengembalikan uangnya tapi si adik tetap harap-harap cemas menunggu esok malam tiba.
Analogi II : Dia percaya penuh. Tidak takut, tidak kuatir, tidak perlu melihat-lihat jam apalagi menghitung waktu karena dia tahu abangnya pasti mengembalikan uang itu. Dia tetap santai dan menikmati waktu demi waktu hingga malam tiba dan si abang datang mengembalikan uangnya.

Sayang sekali kepercayaanku ada di analogi yang pertama. Aku percaya namun masih kuatir. Aku percaya namun masih takut. Lantas sia-siakah kepercayaanku itu? Lalu apa yang harus kulakukan agar aku percaya penuh, bukan sekedar percaya saja? Masalah demi masalah yang kualami minggu terakhir ini memang cukup sulit dan rumit, namun membuat keputusann untuk percaya penuh pada rancanganNYA adalah hal yang paling sulit dari semuanya.

Dari sini aku sadar betapa sulitnya memiliki iman yang dewasa. Sedih mengetahui bahwa imanku ternyata masih labil sehingga untuk percaya penuh saja aku belum mampu. Namun ada tekad dalam hati untuk terus belajar dan berproses karena aku yakin iman yang dewasa takkan muncul dengan cara yang praktis, harus melalui proses yang panjang, harus melalui sekelumit masalah dan harus siap ditempa dengan cara yang menyakitkan.

Sekilas, aku jadi ingat apa yang menjadi ‘wish’ ulangtahunku Oktober kemarin. Salah satu wishku adalah agar aku diberkahi kebijaksanaan dan iman yang dewasa sehingga aku mampu menjadi wanita single-fighter. Mungkinkah masalah-masalah yang kualami beberapa waktu terakhir ini adalah jawaban Tuhan atas permintaanku? Mungkin saja DIA sedang tersenyum dari atas sana seraya berkata : “Loh, gimana sih anakKU yang satu ini? Bukannya kemarin minta kebijaksanaan? AKU kan ga mungkin langsung kasih kebijaksanaan, jadi AKU akan kasih masalah-masalah yang bisa menguji iman dan kebijaksanaannya. Nikmatilah nak! Jika engakau berhasil menyelesaikannya maka sudah dua wish-mu yang AKU kabulkan!”.

Ya, itulah harapan terakhirku. Aku berharap semua yang kulalui ini adalah jawaban Tuhan atas permintaanku sendiri. Permintaan akan kebijaksanaan yang konsekuensinya adalah masalah demi masalah. Seperti mata pedang yang tajam dan kuat, harus dibakar dalam panasnya api serta ditempah dalam sakitnya pukulan agar bisa menjadi pedang yang kuat. Aku percaya wish ulangtahun itu memang ajaib. Tuhan akan kabulkan jika kita memang pantas menerimanya, seperti salah satu wish yang Tuhan langsung jawab satu bulan setelah aku meminta.

Biarlah aku menikmati proses ini, menikmatinya sebagai bagian dari permintaanku. Ajar aku untuk bertekun dan bersabar dalam janjiMU ya Tuhan, sehingga aku tidak perlu takut seperti sekarang. Tuhan mengijinkan masalah demi masalah datang ke hidupku karena ada pekerjaanNYA yang harus dinyatakan. aku tak boleh berontak melainkan bersabar karena setelah ini berlalu, aku akan terbang lebih tinggi lagi. Amin! Tuhan memberkati saya dan kalian yang membaca ini. Praise The LORD!