"Kisah ini adalah salah satu kisah yang membuatku merasa sebagai gadis 20-an yang sangat beruntung. Aku punya Mama yang hebat, Mama yang tidak menggurui, Mama yang tidak hobby menasehati namum Mama yang selalu ada disisiku bagaimanapun kondisiku. Tulisan ini kupersembahkan bagi Mama yang ulangtahun tanggal 13 Mei kemarin. "
Begitu banyak hal yang
ingin kuceritakan tentang Mamaku. Mama memang sedikit cerewet dirumah, tapi aku
tak keberatan punya Mama cerewet. Karena apa? Karena perhatian dan kasih
sayangnya jauh lebih besar dari kecerewetannya. Dari sekian banyak hal yang ada
diingatanku, aku ingin menceritakan salah satunya saja untuk kali ini. Judulnya
adalaaaahh : Telpon Mama.
Telpon Mama adalah
salah satu bukti nyata betapa perhatiannya beliau padaku. Manakala aku sakit,
dia meneleponku 2 sampai 3 kali sehari. Di masa-masa normal (saat aku tidak
sedang sakit) teleponnya berdering 3 sampai 4 kali seminggu. Dan saat aku
sedang berada di luar Pulau Sumatera, wah bisa-bisa telponnya memanggilku
setiap hari, tiada satu haripun yang terlewatkan.
Telpon Mama ini
membuatku merasa beruntung dilahirkan di dunia. Pernah sekali waktu, ketika aku
terbang ke luar kota yang cukup jauh dari tempatku tinggal, seorang teman
curhat soal keluarganya. Begini isinya : “Aku
punya Mama yang cukup keras, untuk menunjukkan perhatiannya saja dia enggan.
Bahkan ketika aku akan bertolak ke pulau lain, Mamaku sama sekali tidak
bertanya bagaimana persiapanku. Saat pesawatku ingin take-off dan sudah
landing-pun Mama tidak menelponku sekedar bertanya apakah aku masih hidup atau
sudah mati karena kecelakaan pesawat. Dan sudah tiga hari aku berada di pulau
yang jauh dari rumahku, Mamaku tak pernah sekalipun menelpon menanyakan
kabarku.”
Itu curhat yang miris.
Dan beberapa waktu setelah aku mendengar curhat miris tersebut, aku mengecek Hp
ku dan menemukan 5 missed call
disitu. Hanya tertera satu nama penelpon yaitu : Ibunda. Oh Tuhan beruntungnya
aku. Tiba-tiba saja aku kangen Mama saat itu. Mama yang bahkan sudah menelpon
dua minggu sebelum keberangkatanku untuk memastikan bahwa aku sudah persiapan.
Mama juga tak pernah
absen menelponku ketika aku akan melakukan hal-hal penting. Saat aku mau coba
beasiswa, Mama telpon dan mendoakan. Saat aku mau seminar proposal, Mama
menyemangati dan mendoakan. Saat aku PKL, Mama telpon dan tanya bagaimana
perkembanganku di tempat yang baru. Saat aku ada kegiatan-kegiatan penting
lainnya diluar kuliah, Mama telpon dan antusias mendengar ceritaku. Saat ada
pengumuman penting dihidupku, Mama adalah orang pertama yang paling penasaran
dengan hasilnya. Jika aku berhasil Ia akan memujiku, tapi jika aku kalah Ia
akan menyemangatiku seolah-olah di depan sana ada hal yang jauh lebih baik.
Sebuah telpon dari Mama
adalah sebuah bukti bahwa ia selalu mengingat anak-anaknya yang jauh dari rumah.
Pertanyaannya adalah, jika kelak Mamaku menjadi tua dan lanjut usia, sanggupkah
aku melakukan seperti yang dia lakukan padaku saat ini? Menelponnya barang dua
kali seminggu, bertanya kabar, saling bercerita satu sama lain, bercanda dan
saling menyemangati?
Aku harus sanggup! Dan
yang terpenting dari semuanya adalah, tidak hanya dengan Mamaku, tapi juga
dengan Ayahku.
Oh, aku rindu Ayah juga melakukan hal yang sama dengan yang Mamaku lakukan,
bukan sekedar sms di awal bulan yang mengatakan uang bulanan sudah dikirim.
Atau jangan-jangan aku-lah yang tidak menyamakan perlakuan pada Ayah seperti
yang kulakukan pada Mamaku?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar