Rabu, 27 Februari 2013

Jika Aku Menjadi LANSIA!


SORE INI, Jumat 22 Februari 2013 setelah merasa lelah seharian bergumul dengan skripsi dan dosen pembimbing saya putuskan untuk langsung pulang ke kost dan melirik tempat tidur. Oh lelahnya! Tapi tiba-tiba pikiran saya tertuju pada Opung (*bahasa batak untuk menyebut Kakek/Nenek) saya dirumah. Segera saya sambar Handphone untuk menghubungi beliau dirumah sekedar ingin tanya-tanya keadaannya.

Sekedar informasi, Opung (perempuan) saya ini tinggal dirumah bersama kami sekeluarga. Ups, mungkin lebih tepatnya kami sekeluarga yang tinggal dirumahnya. Ya, sejak saya SMP kami sekeluarga sudah tinggal serumah dengan Opung. Sudah hampir dua tahun Opung ditinggal pergi Opung (Laki-laki) saya. Beliau meninggal dunia tahun 2011 silam dan hingga kini masih terasa aura akan kehilangannya dirumah saya.

Jujur saja semenjak kepergian Opung (Laki-laki) saya, Opung sedikit berubah. Beliau menjadi sedikit pendiam dan pemurung. Saya baru sadar dan mengerti bahwa kehilangan pasangan hidup memang bisa membuat beban tersendiri bagi pasangan yang ditinggalkannya. Di awal-awal kepergian Opung (Laki-laki) saya, Opung malah tidak bisa tidur berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan di kamar yang sudah puluhan tahun dia tempati bersama almarhum Opung. Sangat sedih melihat kondisinya saat itu. Bahkan untuk minggu-minggu pertama setelah kepergian Opung saya dan adik harus bergantian menemani beliau tidur guna mengurangi duka dan ingatannya akan Opung.

Dan ada duka tersendiri saat saya berbicara pada Opung lewat Handphone tadi. "Halo Opung, lagi ngapain? Sehat kan?", ujarku memulai percakapan. "Iya sehat, ini lagi nonton. Ini ajanya kerjaku sehari-seharian, nonton sendiri ga ada kawan cakap-cakap. Seharian aku sendiri-sendirian aja di ruang tamu", jawabnya. Ya, dia memang menjawab sambil tertawa, tapi saya cukup mengerti ada sebuah duka tersendiri yang terselip dibalik jawabannya tadi. Oh, itu bukan jawaban, bagi saya itu seperti mengadu.

Ya, saya sedih mendengarnya. Tapi sedih itu saya sembunyikan dan saya ganti dengan kata-kata hiburan yang bisa menenangkan perasaanya. Saya bahkan berkata akan pulang Maret mendatang dan mengusahakan seminggu full menemaninya dirumah.

Saat menutup telepon saya langsung teringat akan mata kuliah Pelayanan Sosial Lansia yang pernah saya dapatkan di semester enam perkuliahan. Pelan-pelan saya merimang-rimangi pesan yang tersirat pada mata kuliah itu. Lansia, apa kebutuhan mereka sebenarnya? Berdasarkan pengalaman nyata yang saya alami, saya akan katankan bahwa LANSIA HANYA BUTUH TEMAN.

Mengapa teman? Coba kita kembali buka ingatan tentang kehidupan zaman Ayah-Ibu kita dulu, atau kehidupan zaman Kakek-Nenek kita. Lansia sama sekali bukan masalah sosial bahkan masalah-masalah menyangkutnya belum begitu eksis. Mengapa? Karena lansia zaman dulu hidup dengan keluarga besar yang menjanjikan asupan akan kebutuhan psikologis yang cukup. Lansia hidup dengan teman, mereka bisa ngobrol kapan saja karena ramainya penghuni di rumah mereka. Lalu apa yang terjadi dengan lansia zaman sekarang?

Seperti Opung saya, lansia cenderung ditinggal sendiri di rumah. Tanpa maksud menelantarkan mereka, penghuni rumah memang rata-rata punya kesibukan dengan jam tinggi di luar rumah. Seperti Ayah saya yang sering tidak berada di rumah, Ibu yang juga bekerja hingga siang/sore, adik yang karena kuliahnya memiliki banyak kesibukan di kampus dan terakhir saya dan abang yang sudah merantau ke luar kota karena pendidikan dan pekerjaan.

Lalu, apa yang terjadi dengan Opung saya yang sendirian di rumah? Dia hanya bisa berdiam diri, karena kalaupun melakukan pekerjaan, kekuatan fisiknya terbatas. Seharian hanya duduk di ruang tamu sambil menonton menghasilkan problem baru yang butuh perhatian secara psikologis. Kerap kali ia berada pada kondisi stress sehingga sering marah-marah tak jelas dan untungnya saya mengerti apa yang meyebabkan hal itu terjadi. Dia kehilangan sosok Opung (Laki-laki) yang sudah puluhan tahun menjadi temannya. Dulu, di setiap waktu senggang saya ingat mereka berdua duduk du ruang tamu dengan makanan ringan di atas meja dan mulai bercerita akan banyak hal. Ada cerita tentang keluarga, masa dulu, masalah-masalah terbaru dan selalu ada saja topik untuk dibicarakan. Berbalik dengan kondisi yang sekarang dimana ia kehilangan teman untuk ngobrol.

Pernah sekali waktu saya pulang ke rumah dan sengaja memberikan ekstra waktu hanya untuk mendengarkan cerita-ceritanya yang bahkan sebagian besarnya sudah berulang-ulang kali ia ceritakan. Tapi dari situ saya melihat ada seperti kepuasan yang didapat Opung. Kepuasan akan kebutuhan teman berbagi yang saat ini semakin minim ia dapatkan. Dari situ saya mulai sadar betapa mudahnya menyenangkan lansia seperti Opung saya. Hanya dengan menjadi TEMAN baginya dan mendengarkan semua ceritanya. Dan terbukti saat kebutuhan akan teman berbagi itu terpenuhi, tempramen beliau lebih stabil dan tidak marah-marah seperti biasanya saat saya tidak ada dirumah.

Yak, kebutuhan sudah terjawab namun timbul lagi masalah baru. Jika jawaban akan kebutuhan lansia adalah ‘TEMAN’ lantas bisakah kita jadi teman untuk mereka : kakek, nenek, bahkan ayah ibu kita kelak; jika waktu kita justru banyak habis diluar rumah? Sangking tingginya jam terbang diluar rumah, begitu pulang yang terpikir hanya langsung istirahat dan hey lagi-lagi kebutuhan si lansia terabaikan. Ini mungkin menjadi tantangan bagi saya, kamu dan kita semua yang hidup dengan lansia di keluarga masing-masing sedang kita punya pekerjaan di luar rumah. Bukankah suatu saat kita juga akan menjadi seperti mereka? Menjadi tua dan butuh perhatian dari ‘teman’?

-dedicated special for My Lovely GrandMother Erseria Rosmalina Girsang. I love U as much as I love My Mother-

Senin, 18 Februari 2013

Cita-cita di Ujung Tanah Batak - cerpen

“Kau tetap harus sekolah amang.” kata inang dengan suara lembutnya. Malam itu udara dingin masuk lewat celah-celah dinding kayu usang yang tidak pernah tersentuh oleh cat. Dinginnya sampai ke ulu hati terlebih karena aku terlibat pembicaraan hati ke hati dengan inang. “Sekolah itu modal untuk mengubah hidupmu, jangan kayak amang nanti kau, capek yang berladang itu, kalo jadi petani berdasi kau masih mending.”

Dalam hati kecil aku menangis. Aku anak kedua dari lima bersaudara. Kami dua laki-laki dan tiga perempuan. Abangku hanya lulus SD dan memilih tidak melanjutkan sekolah demi membantu pekerjaan Amang di ladang. Kami punya ladang kopi yang tidak begitu luas, punya dua ekor lembu hasil pembagian warisan dari opung dan rumah kecil tiga kamar dimana lantai dan dindingnya masih terbuat dari kayu.

Malam memang selalu dingin di kampung ini. Sudah jelas karena ini adalah Huta Partukkoan, desa yang paling puncak di wilayah perbukitan pinggiran Pulau Samosir. Tidak ada listrik disini, kami terbiasa melalui malam gelap dengan penerangan seadanya dari lampu solar-cell sumbangan pemerintah yang hanya bertahan paling lama empat jam. Selebihnya kami memanfaatkan tungku perapian kayu bakar yang ada di masing-masing dapur tiap rumah. Dalam masa remajaku aku sering kali berpikir, “Ah, jika nanti aku punya istri orang kota maukah dia menerima keadaan keluargaku yang seperti ini? Maukah dia tinggal di kampung ini? Jangan-jangan bertamu saja ia enggan karena keadaan yang seperti ini.” sambil terpikirku betapa enaknya jadi orang kota dimana segala sesuatunya serba tersedia.

Aku baru saja menyelesaikan pendidikan SMA. Jarak sekolah dari rumah 10km jauhnya dan kutempuh dengan berjalan kaki setiap paginya. Aku ingat jam 5 subuh aku harus sudah bangun, jam 6 berangkat ke sekolah, menempuh jalan berbatu dengan pengerjaan seadanya bersama tiga orang teman dekatku.

Begitulah hari-hari yang kulalui setiap harinya hingga tiga tahun pun berlalu saat aku berhasil menyelesaikan pendidikan SMAku. Aku takut bermimpi untuk bisa melanjut ke Perguruan Tinggi. Menurutku bisa tamat SMA saja sudah syukur mengingat abang yang hanya tamat SD. Memang ada suara kecil di ujung kalbu yang memohon untuk disekolahkan setinggi-tingginya. Namun aku sadar diri. “Ah, sudahlah. Kalo aku ga bisa sekolah tinggi mungkin adek-adekku bisa kusekolahkan nanti. Yang penting rajin aku kerja”, pikirku lagi.

“Kau itu anak yang pintar amang, sayang kalo berhenti kau sekolah.” Lanjut inang lagi menggugah lamunanku. “Udahlah, lanjut aja sekolahmu ke unipersitas. Amangpun bilang gitunya. Gak usah kau pikirkan biaya, nanti kalo memang butuh kali kita jual aja satu lembu kita, kan masih adanya satu lagi.” tegas inang. “Liat nanti lah nang, ku pikir-pikir dulu”.

Kutinggalkan inang di dapur. Ceritanya mungkin belum selesai. Ah perguruan tinggi, pikirku. Ya, dulu aku memang selalu bermimpi bisa kuliah. Aku selalu bermimpi bisa bekerja dikota. Tapi sepertinya mimpi itu sangat sulit diwujudnyatakan. Malam begitu gelap dan pekat. Aku duduk termenung di tangga beranda samping. Tak ada yang tahu aku menangis.

“Hah, hanya untuk biaya awal saja kami harus menjual lembu. Bagaimana lagi satu atau dua tahun kedepan? Jangan-jangan kami harus jual ladang bahkan semua harta benda yang kami punya”. Pikiranku kacau. Aku tak pernah sanggup mengambil keputusan hingga akhirnya amang datang menghampiriku. Secepatnya kuhapus air mataku.

Jejak langkah itu tak asing di telingaku. Ada suara yang tidak seimbang kala amangku melangkah. Dia sudah cacat sejak lahir. Kaki kiri dan kanannya tidak sama panjangnya. Yang kiri lebih pendek sehingga ada ketimpangan di tiap langkahnya. Bukan itu yang kupedulikan. Dia itu amangku dan motivator terbesar dihidupku yang bahkan jika kuberi nyawaku juga tetap takkan bisa membalas apa yang telah ia beri dihidupku.

“Kek mana amang? Lanjutnya sekolahmu ke Perguruan Tinggi kan?” kata amang. Dalam masyarakat Batak sudah menjadi kebiasaan memanggil anak laki-laki dengan sebutan “Amang” dan anak perempuan dengan sebutan “Inang” kendati arti amang adalah Ayah dan arti inang adalah Ibu. Itu sudah seperti panggilan sayang, dan juga seperti ada peringatan akan tanggungjawab hidup di dalamnya dimana setiap anak laki-laki kelak memang akan menjadi ayah dan anak perempuan akan menjadi ibu.

Aku hanya diam. Tapi amangku memang ajaib. Dia mengerti apa yang kupirkan dan apa yang kurasakan. Dia menarik nafas panjang lalu berdehem, pertanda ia juga merasakan kegundahan yang kurasa.

“Anakkon hi do hamoraon di au. Taunya kau artinya itu kan mang? Bagi kita orang Batak ini, anak adalah harta yang tak ternilai harganya. Biarpun aku cuma petani, biarpun ladang kita pas-pasan, rumah kita jelek kek gini gak pernah aku merasa kita ini miskin. Aku punya harta yang tak ternilai dirumah ini. Lima anakku, lima-limanya kuanggap hartaku yang paling berharga. Kalo memang mesti mati-matian aku kerja biar sekolah anakku, mati-matian pun jadi mang. Asallah sekolah anak-anakku. Kalo abangmu si Jakson itu memang karena ga adanya niatnya sekolah makanya cuma sampe tamat SD aja dia. Tapi kau, udah pintar disekolah, besar pulak ku tengok niatmu melanjut. Kejarlah itu amang.” tutur amang.

Tak kuasa ku menahan tangis. Air mataku terhambur dengan bebasnya. Aku tak sanggup berkata. “Kuliahlah kau amang, gak papanya itu. Gak usah pikirkan soal biaya. Urusan amang lah disitu. Siapa tau nanti kau sukses, bisa kau bantu amang menyekolahkan adek-adekmu ini.” amang semakin meyakinkanku.

Malam begitu panjang. Omongan amang terus-menerus berputar di kepalaku. Aku masih ragu. Aku terus memikirkan biaya perkuliahanku kelak sementara tiga adikku yang lain juga masih menempuh pendidikannya. Satu orang di SMP dan dua orang lagi di SD. Ya Tuhan, selama ini saja hidup kami sudah cukup berat, apalagi nanti ketika aku harus kuliah.

Sore itu aku memutuskan pergi ke Bukit yang tak jauh dari rumahku. Namanya Bukit Sihulak Hosa. Dalam bahasa Batak manghulak hosa artinya “membuang nafas atau bernafas lepas”. Bukit ini diberi nama Sihulak Hosa karena bukit ini dirasa cocok sebagai tempat menghela nafas sebebas-bebasnya, melepaskan beban pikiran dan menenangkan diri.




Dari bukit ini kita dapat melihat pemandangan Danau Toba dan Pulau Samosir entah dari ketinggian berapa. Cukup tinggi, bahkan sangat tinggi karena kita melihat perbukitan seumpama permadani yang tergelar lembut di kaki bumi. Danau Toba terlukis sempurna dimana perbukitan adalah hamparan tembok yang melindunginya seakan ada dunia lain dibalik sana. Langit begitu biru hingga sulit melihat garis pemisah antar batas air danau dan batas awan. Awan putih sengaja mengukir birunya langit sehingga ada keseimbangan antara pemandangan di bawah sana dengan pemandangan di atas.

Pikiran membawaku melayang membayangkan diriku pergi dari pulau ini. Menyebrangi danau dan menyambut kehidupan di luar tembok bukit itu. Entah apa yang ada diluar bukit sana. Tapi yang kutahu disanalah mimpiku, disanalah universitas yang ingin kutuju. Aku tersenyum bersambut tawa kecil. Aku kembali teringat omongan amang malam sebelumnya. “Kejarlah itu amang”. Aku merasa keyakinanku sedikit bertambah. Aku ingin kuliah.

.........

Aku berada di sebuah kapal penyebrangan, kapal ferry. Sudah mulai banyak yang berubah di pulau ini. Terlihat beberapa sisi perbukitan yang mulai gundul. Aku ingat ada tulisan “Horas Samosir” yang tergelar di dinding perbukitan saat kita mulai dekat dengan Pulau Samosir namun kini mulai pudar karena beberapa pohon yang mengukirnya sudah layu. Aku begitu merindukan suasana pulau ini. Rasanya tidak ada yang perlu dikejar jika berada di tempat ini. Tanah kelahiranku.

Air Danau Toba begitu tenang, biru dan jernih. Sungguh memanjakan mata. Cuaca yang cerah mengalahkan kabut yang biasanya menutupi perbukitan di sekeliling danau. Ketika cuaca cerah kita bisa dengan jelas melihat beberapa air terjun yang terselip di tengah-tengah perbukitan. Salah satu yang terkenal adalah air terjun patah hati. Dikatakan air terjun patah hati adalah karena air terjunnya tepat mengalir di tengah-tengah dinding bukit yang berbentuk hati. Jadi terlihat seolah-olah air terjun itu memisahkan hati yang menyatu.

Walau matahari bersinar terang, masih ada aroma kesejukan yang terasa di sekujur tubuh. Udaranya pun begitu bersih. Sepanjang perjalanan melintasi danau, kami berpapasan dengan beberapa kapal penumpang yang datang dari arah berlawanan. Terlihat banyak turis mancanegara di setiap kapal penyeberangan tersebut. Aku lihat kulit mereka sudah memerah pertanda mereka sudah berteman dengan matahari pantai.

Dari dulu pulau ini memang sudah menjadi tujuan wisata. Maka tak asing jika kita menemui banyak wajah-wajah bule di tempat ini. Mereka datang dari berbagai penjuru dunia. Tapi yang paling banyak adalah turis dari Australia, Jerman dan Perancis. Aku rasa tak sulit belajar praktik bahasa asing disini karena turis-turis itu begitu ramah dengan orang lokal.

Pemandangan lain yang bisa ditemukan di pulau ini adalah jejeran rumah-rumah warga yang hampir seluruhnya dibangun dengan arsitektur khas Batak. Atapnya yang menjulang tinggi berbentuk segitiga menandakan kemakmuran bagi tiap pemiliknya. Bukan hanya rumah warga, perhotelan, restoran dan beberapa tempat bersantai pun dibangun dengan ciri khas rumah Batak. Warisan budaya yang masih dipertahankan hingga masa kini.

“Papa, apa ada ikan hiu di danau ini?” ah, suara mungil itu, suara puteraku satu-satunya. “Enggak Raja, gak ada hiu disini. Kamu kebanyakan nonton film ah.” jawabku. Dua belas tahun lalu aku ingat saat aku memutuskan meninggalkan pulau indah ini demi cita-cita yang selalu kuimpikan dari ujung bukit sana, di rumahku. Ya dua belas tahun lalu. Aku tak percaya hari ini aku pulang membawa isteri dan buah hatiku untuk pertama kalinya ke ujung bukit sana, ke rumah orangtuaku, ke rumahku.

Aku begitu merindukan kampung halamanku, begitu merindukan amang dan inang. Kesibukan yang luar biasa dua tahun terakhir membuatku tak bisa pulang. Persiapan untuk tutup buku perusahaan di akhir tahun seperti ini membuatku posisiku, posisi Financial Manager begitu dibutuhkan. Beruntung segala sesuatunya sudah aku selesaikan sebelum deadline sehingga aku bisa menikmati beberapa minggu berlibur disini, di pulau yang didaulat sebagai rumah masyarakat Batak ini.

Terkadang aku masih tak percaya akan diriku yang sekarang. Aku yang hanya seorang pemimpi di ujung bukit sana kini datang membawa mimpi itu kembali ke tempatnya dulu diciptakan. Sudah terbayang olehku dulu bekerja di sebuah perusahaan dengan setelan jas dan sepatu kilap. Bahkan aku mendapat yang lebih dari itu. Aku dipromosikan menjadi financial manager setahun lalu, seminggu setelah aku merayakan ulangtahun pertama buah hatiku.

Tujuh tahun sudah aku merintis karier di perusahaan tempatku bekerja dari mulai posisi karyawan biasa, asisten manager hingga posisi yang sekarang. Tidak sia-sia dulu aku mati-matian sekolah S2 dengan modal sendiri karena amang dan inang hanya sanggup menyekolahkanku sampai jenjang S1 saja. Aku bangga pada diriku, seperti aku bangga kepada kedua orangtuaku yang luar biasa.

Hati sudah tak sabar ingin bertemu amang, inang dan saudara-saudaraku. Perjalanan kurang lebih dua jam ke Huta Partukkoan akhirnya membawa mobil yang kusewa sampai di depan pekarangan rumahku. Aku tak bisa memasukkan mobilku ke dalam karena lembu-lembu milik amang menghalangi jalan masuk seakan tidak memedulikan kedatanganku. Ah, aku kembali teringat dua lembu yang dijual demi kuliahku dulu, aku tersenyum.

Wajah-wajah orang yang kukasihi sudah menunggu dengan penuh harap di beranda depan. Dan air mataku tak sungkan mengalir saat kupeluk amang dan inang untuk pertama kalinya setelah dua tahun tak pulang. Aku melihat wajah amang dan inang, baru kusadari bahwa kerutan di wajah mereka sudah lebih banyak dibanding dua tahun lalu. Inang yang masih setia dengan sirih dimulutnya. Dan ini dia, ini dia rumah kami yang  tak banyak berubah dari puluhan tahun lalu, dari aku lahir lebih tepatnya.

“Amang, kita bagusilah rumah kita ini?” ujarku usai makan malam bersama. “Ah, ngapain mesti dibagusi mang, ga perlu lagi sama kami rumah bagus-bagus.” sambut amang. “Yang penting sama kami, bagus-bagus semua anak kami, jadi orang semuanya. Cukup melihat kau dan adek-adekmu sukses udah bangga amang. Ai anakkon hi do hamoraonku na toho, anggo harta na asing i, dang na siboanon mate i.” (hanya anakku lah kekayaan yang sejati, harta yang lain tidak untuk dibawa mati), tegas amang.

Perkataan amang kembali mengingatkan aku akan pesannya dulu. “Anakkon Hi do Hamoraon di Au” sebuah pesan perjuangan bagi seorang ayah untuk anaknya. Pesan perjuangan seorang ayah yang akan kuteruskan dalam diriku. Karena sekarang aku seorang ayah. Dan aku ingin berjuang seperti ayahku dulu. Aku melihat wajah puteraku yang tertidur pulas di pangkuan isteriku.


 >> Didedikasikan kepada seluruh warga Huta Partungkoan, Desa Salaon Dolok, Samosir tempat penulis melakukan praktik kerja lapangan thn 2012. Thankyou for everything, pasti sangat merindukan hutan hijau dan embun sepanjang hari disana :') Special Thanks for : Bpk. Kastro Sitanggang, Keluarga Darwin Sitanggang.

Minggu, 17 Februari 2013

TEN Random Things From Me


  1. My Mood is on My Room
    Kalau aku berada pada spedometer mood yang bagus, maka aku tak’kan membiarkan ada debu berkeliaran di seputaran kamarku. Kamarku akan tampak sangaaaat rapi. Tapi kalau mood lagi jelek, aku takkan peduli walau debu” itu membangun rumah susun di kolong tempat tidurku.
  2. I’ve tried to be such a perfect feminim, but I can’t use this stupid high heels.
    Baiklah, high heels hanya akan memperburuk penampilanku. Jika memakainya badanku akan membungkuk, selalu melihat ke bawah takut kalau-kalau salah satu heel-nya patah dan aku harus memungut heel-nya di tengah keramaian, hahaha. Tapi tenaang, beberapa tahun lagi aku akan menaklukkan si heels 15senti, halagh!
  3. Watching Tv is a tired time!
    Menonton Tv hanya akan membuatku lelah. Terang saja dalam 1 menit aku bisa puluhan kali mengganti channel Tv karena ya..kau tahu, jarang ada siaran yang benar-benar menarik hati. Percayalah sinetron bukan pilihan yang tepat!
  4. Breakfast is the last choice
    ..karena dalam satu bulan, bisa dihitung berapa kali aku sarapan, maksudku benar-benar sarapan sehat dengan menu utama “nasi”. Menyedihkan!
  5. Make-up made me (not) beautiful
    Mungkin resiko kulit sensitif, make-up hanya akan membuatku terlihat jelek, karena jarang nemu yang cocok. Hmm..padahal aku kan ingin juga mencoba dandanan yang pas, tapi ya itulah.. Itu apa? Entahlah!
  6. I’ve already tried to love “cooking”
    Ikan yang digoreng terlalu coklat (maksudku menuju hitam), kekurangan garam, sayur yang terlalu masak, nasi goreng rasa antah-berantah dan berbagai produk gagal lainnya. Hey, aku Cuma ingin memasak, apakah itu dosa berat? Mengapa bumbu-bumbu itu terlihat memusuhiku? Lihat saja, someday aku akan menghabiskan kalian semua di meja giling!
  7. Always be late coz my watch is bad, Gyahahaha #alibi
    Bukan evi namanya kalau ga telat. Aku hanya ingin belajar menaklukkan waktu dan aku akan memperbaiki jamku yang selalu rusak (bohong)! Oke aku mengaku, telat memang sudah menjadi kebiasaan buruk sejak SMA, eh maksudku SMP, ehehe (^^).v
  8. I can’t wake up early.
    Karena alarm selalu menjadi musuhku dan aku benci mendengar suaranya!
  9. Sometimes I’ve being so kind, sometimes I’ve being so arrogant, that’s might be called : “Double Personality” XD
    Bukannya pilih-pilih siapa yang wajib disapa dan siapa yang tidak, aku hanya dipermainkan “mood”, mengertilah, hiikkss (sandiwara).
  10. I’m a bad financial manager!
    Ga ada rencana buat belanja tapi mengapa kau ajak aku ke tempat itu? Bajunya keren, sepatunya macho. Baiklah akan kubeli walau budgetku pas-pasan. Ini namanya belanja tak terduga, Hahaha.
Baiklah, sekian sesi bagi-baginya, mungkin kau bisa mencoba bagianmu!

Sabtu, 16 Februari 2013

Aku Hanya Seorang Anak Kecil

Dulu saat aku kecil, Mama bilang banyak orang yang mencium dan menyubit pipiku sambil berkata,”Wah, lucu sekali anaknya!”. Kini aku masih tetap seperti anak kecil itu. Aku masih lucu, setidaknya masih berusaha untuk lucu. Aku ingin membuat orang-orang disekitarku tertawa walau harga sembako makin hari makin mahal (hubungannya apa?). Aku tak pernah bosan tertawa, menertawai diri sendiri bahkan sepertinya jadi kegiatan yang menarik. Aku ingin tertawa, tertawa hingga lelah walau dunia mempermainkan hidupku dengan begitu lucunya. Aku masih lucu!

Dulu saat aku kecil, Mama bilang aku suka berebut mainan dengan abangku. Percayalah aku masih tetap begitu. Namun kini bukan mainan yang kurebut melainkan sejumlah prestasi dan urutan teratas dalam setiap kompetisi. Sayangnya dalam setiap kompetisi kehidupan aku tak selalu bisa merebut posisi puncak. Tapi tak mengapa, jalan masih panjang (padahal isunya 2012 kiamat! Hahaha).

Dulu saat aku kecil, Mama bilang aku tak kenal lelah. Berlari kian kemari, tak peduli berapa kali aku jatuh aku tetap bangkit dan kembali berlari lagi. Tapi kini aku sudah dewasa, Ma. Terkadang aku lelah dengan permainan kehidupan. Disaat aku terjatuh aku malas bangkit lagi. Kebosanan, kepenatan sering menyambangi hidupku. Ada begitu banyak waktu yang kuhabiskan tanpa berbuat apapun. Aku ingin kembali menjadi anak kecil itu. Anak kecil yang tak kenal putus asa.

Dulu saat aku kecil, Mama mengajarkanku tentang Tuhan. Guru sekolah mingguku juga melakukan hal yang sama. Kata mereka Tuhan itu baik, Maha Pengasih, selalu menolong setiap kesusahan anak-anakNYA dan aku percaya itu! Aku yakin Tuhan setia. Kini aku sudah dewasa. Begitu banyak beban dan persoalan hidup hilir-mudik di kehidupanku. Dan aku mulai bertanya, benarkah yang kuyakini ketika aku kecil dulu. Bahkan aku pernah dengar beberapa pertanyaan yang selalu menanyakan hal yang sama, “Apakah Tuhan benar-benar ada?” Dan otakku mulai berkutat tentang pertanyaan para filsuf-filsuf besar tentang keberadaan Tuhan (akibat mata kuliah filsafat dan semboyan yang sering kudengar di kampus bahwa mahasiswa harus radikal! Hahaha, masa iya?). Oke, lupakan mata kuliah filsafat! Aku masih percaya Tuhan! Aku masih anak kecil itu, anak kecil yang percaya bahwa Tuhan adalah sumber kekuatan yang tak terlihat.

 
Dulu saat aku kecil, aku kira ketidakadilan itu adalah manakala abangku dibelikan mobil-mobilan yang bagus sekali sementara aku hanya mendapat sebuah boneka (mirip) Barbie yang bahkan kelihatan tidak menarik bagiku. Ketidakadilan itu pikirku adalah saat abangku diberi uang jajan yang lebih banyak dariku sementara aku hanya bisa memandangi permen gula temanku yang kelihatan begitu menggiurkan karena aku tidak mampu membelinya. Kini aku sudah dewasa, dan makna ketidakadilan yang kukira dulu ternyata tidak se-simpel itu. Aku menjumpai begitu banyak ketidakadilan justru disaat aku sudah beranjak dewasa. Disaat seorang tetangga berkata,”Wah..Evi kuliah di Usu ya? Hebat!” Bangganya aku mendengarnya. Lalu ia bertanya lagi, ”Jurusan apa di Usu, vi?” Aku yang masih terbawa perasaan bangga pun masih dengan bangganya berkata, ”Ilmu Kesejahteraan Sosial!” Dan yang kutemui adalah bapak itu terdiam sejenak sambil mengkernyitkan dahinya. Ilmu kesejahteraan sosial itu apa? Sejenis penyedap rasa ya? Ah..mungkin itu yang dia pikirkan. Seketika itu perasaan banggaku hilang. Kemudian ia lanjut bertanya,”Mau jadi apalah nanti kalau tamat dari jurusanmu?” Dan dengan perasaan bangga yang sedikit kupaksakan kujawab.”PEKERJA SOSIAL.” Dan dia kembali terdiam sambil mengkernyitkan dahinya (lagi). Apa itu pekerja sosial? Baru dengar. Profesi apa itu? Profesi mengusir alien dari bumi? Mungkin begitulah kira-kira isi pikirannya. Dan hei Pak Tua, aku mendengarmu! Dalam hati aku berjanji untuk rela membayarinya paket internet tiga jam supaya dia tahu dan mengerti apa itu Pekerja Sosial dari Uncle GOOGLE. Ya..Uncle GOOGLE yang cukup ramah pada mahasiswa-mahasiswa yang (kurang) rajin, termasuk saya. Itu potret ketidakadilan yang paling nyata di hidupku. Hahaha

Dan pada akhirnya melalui tulisan ini, aku mengundang pembaca untuk kembali menjadi anak kecil lagi.
Anak kecil yang lucu sehingga bisa menjadi berkat buat sesama. Anak kecil yang oleh karenanya orang-orang di sekelilingnya bisa tertawa.
Anak kecil yang kompetitif dalam setiap pertarungan kehidupan.
Anak kecil yang selalu yakin bahwa Tuhan hidup di setiap nafasnya.
Dan anak kecil yang tetap bertahan walau berdiri diatas ketidakadilan.
Selamat menjadi anak kecil..!