Senin, 18 Februari 2013

Cita-cita di Ujung Tanah Batak - cerpen

“Kau tetap harus sekolah amang.” kata inang dengan suara lembutnya. Malam itu udara dingin masuk lewat celah-celah dinding kayu usang yang tidak pernah tersentuh oleh cat. Dinginnya sampai ke ulu hati terlebih karena aku terlibat pembicaraan hati ke hati dengan inang. “Sekolah itu modal untuk mengubah hidupmu, jangan kayak amang nanti kau, capek yang berladang itu, kalo jadi petani berdasi kau masih mending.”

Dalam hati kecil aku menangis. Aku anak kedua dari lima bersaudara. Kami dua laki-laki dan tiga perempuan. Abangku hanya lulus SD dan memilih tidak melanjutkan sekolah demi membantu pekerjaan Amang di ladang. Kami punya ladang kopi yang tidak begitu luas, punya dua ekor lembu hasil pembagian warisan dari opung dan rumah kecil tiga kamar dimana lantai dan dindingnya masih terbuat dari kayu.

Malam memang selalu dingin di kampung ini. Sudah jelas karena ini adalah Huta Partukkoan, desa yang paling puncak di wilayah perbukitan pinggiran Pulau Samosir. Tidak ada listrik disini, kami terbiasa melalui malam gelap dengan penerangan seadanya dari lampu solar-cell sumbangan pemerintah yang hanya bertahan paling lama empat jam. Selebihnya kami memanfaatkan tungku perapian kayu bakar yang ada di masing-masing dapur tiap rumah. Dalam masa remajaku aku sering kali berpikir, “Ah, jika nanti aku punya istri orang kota maukah dia menerima keadaan keluargaku yang seperti ini? Maukah dia tinggal di kampung ini? Jangan-jangan bertamu saja ia enggan karena keadaan yang seperti ini.” sambil terpikirku betapa enaknya jadi orang kota dimana segala sesuatunya serba tersedia.

Aku baru saja menyelesaikan pendidikan SMA. Jarak sekolah dari rumah 10km jauhnya dan kutempuh dengan berjalan kaki setiap paginya. Aku ingat jam 5 subuh aku harus sudah bangun, jam 6 berangkat ke sekolah, menempuh jalan berbatu dengan pengerjaan seadanya bersama tiga orang teman dekatku.

Begitulah hari-hari yang kulalui setiap harinya hingga tiga tahun pun berlalu saat aku berhasil menyelesaikan pendidikan SMAku. Aku takut bermimpi untuk bisa melanjut ke Perguruan Tinggi. Menurutku bisa tamat SMA saja sudah syukur mengingat abang yang hanya tamat SD. Memang ada suara kecil di ujung kalbu yang memohon untuk disekolahkan setinggi-tingginya. Namun aku sadar diri. “Ah, sudahlah. Kalo aku ga bisa sekolah tinggi mungkin adek-adekku bisa kusekolahkan nanti. Yang penting rajin aku kerja”, pikirku lagi.

“Kau itu anak yang pintar amang, sayang kalo berhenti kau sekolah.” Lanjut inang lagi menggugah lamunanku. “Udahlah, lanjut aja sekolahmu ke unipersitas. Amangpun bilang gitunya. Gak usah kau pikirkan biaya, nanti kalo memang butuh kali kita jual aja satu lembu kita, kan masih adanya satu lagi.” tegas inang. “Liat nanti lah nang, ku pikir-pikir dulu”.

Kutinggalkan inang di dapur. Ceritanya mungkin belum selesai. Ah perguruan tinggi, pikirku. Ya, dulu aku memang selalu bermimpi bisa kuliah. Aku selalu bermimpi bisa bekerja dikota. Tapi sepertinya mimpi itu sangat sulit diwujudnyatakan. Malam begitu gelap dan pekat. Aku duduk termenung di tangga beranda samping. Tak ada yang tahu aku menangis.

“Hah, hanya untuk biaya awal saja kami harus menjual lembu. Bagaimana lagi satu atau dua tahun kedepan? Jangan-jangan kami harus jual ladang bahkan semua harta benda yang kami punya”. Pikiranku kacau. Aku tak pernah sanggup mengambil keputusan hingga akhirnya amang datang menghampiriku. Secepatnya kuhapus air mataku.

Jejak langkah itu tak asing di telingaku. Ada suara yang tidak seimbang kala amangku melangkah. Dia sudah cacat sejak lahir. Kaki kiri dan kanannya tidak sama panjangnya. Yang kiri lebih pendek sehingga ada ketimpangan di tiap langkahnya. Bukan itu yang kupedulikan. Dia itu amangku dan motivator terbesar dihidupku yang bahkan jika kuberi nyawaku juga tetap takkan bisa membalas apa yang telah ia beri dihidupku.

“Kek mana amang? Lanjutnya sekolahmu ke Perguruan Tinggi kan?” kata amang. Dalam masyarakat Batak sudah menjadi kebiasaan memanggil anak laki-laki dengan sebutan “Amang” dan anak perempuan dengan sebutan “Inang” kendati arti amang adalah Ayah dan arti inang adalah Ibu. Itu sudah seperti panggilan sayang, dan juga seperti ada peringatan akan tanggungjawab hidup di dalamnya dimana setiap anak laki-laki kelak memang akan menjadi ayah dan anak perempuan akan menjadi ibu.

Aku hanya diam. Tapi amangku memang ajaib. Dia mengerti apa yang kupirkan dan apa yang kurasakan. Dia menarik nafas panjang lalu berdehem, pertanda ia juga merasakan kegundahan yang kurasa.

“Anakkon hi do hamoraon di au. Taunya kau artinya itu kan mang? Bagi kita orang Batak ini, anak adalah harta yang tak ternilai harganya. Biarpun aku cuma petani, biarpun ladang kita pas-pasan, rumah kita jelek kek gini gak pernah aku merasa kita ini miskin. Aku punya harta yang tak ternilai dirumah ini. Lima anakku, lima-limanya kuanggap hartaku yang paling berharga. Kalo memang mesti mati-matian aku kerja biar sekolah anakku, mati-matian pun jadi mang. Asallah sekolah anak-anakku. Kalo abangmu si Jakson itu memang karena ga adanya niatnya sekolah makanya cuma sampe tamat SD aja dia. Tapi kau, udah pintar disekolah, besar pulak ku tengok niatmu melanjut. Kejarlah itu amang.” tutur amang.

Tak kuasa ku menahan tangis. Air mataku terhambur dengan bebasnya. Aku tak sanggup berkata. “Kuliahlah kau amang, gak papanya itu. Gak usah pikirkan soal biaya. Urusan amang lah disitu. Siapa tau nanti kau sukses, bisa kau bantu amang menyekolahkan adek-adekmu ini.” amang semakin meyakinkanku.

Malam begitu panjang. Omongan amang terus-menerus berputar di kepalaku. Aku masih ragu. Aku terus memikirkan biaya perkuliahanku kelak sementara tiga adikku yang lain juga masih menempuh pendidikannya. Satu orang di SMP dan dua orang lagi di SD. Ya Tuhan, selama ini saja hidup kami sudah cukup berat, apalagi nanti ketika aku harus kuliah.

Sore itu aku memutuskan pergi ke Bukit yang tak jauh dari rumahku. Namanya Bukit Sihulak Hosa. Dalam bahasa Batak manghulak hosa artinya “membuang nafas atau bernafas lepas”. Bukit ini diberi nama Sihulak Hosa karena bukit ini dirasa cocok sebagai tempat menghela nafas sebebas-bebasnya, melepaskan beban pikiran dan menenangkan diri.




Dari bukit ini kita dapat melihat pemandangan Danau Toba dan Pulau Samosir entah dari ketinggian berapa. Cukup tinggi, bahkan sangat tinggi karena kita melihat perbukitan seumpama permadani yang tergelar lembut di kaki bumi. Danau Toba terlukis sempurna dimana perbukitan adalah hamparan tembok yang melindunginya seakan ada dunia lain dibalik sana. Langit begitu biru hingga sulit melihat garis pemisah antar batas air danau dan batas awan. Awan putih sengaja mengukir birunya langit sehingga ada keseimbangan antara pemandangan di bawah sana dengan pemandangan di atas.

Pikiran membawaku melayang membayangkan diriku pergi dari pulau ini. Menyebrangi danau dan menyambut kehidupan di luar tembok bukit itu. Entah apa yang ada diluar bukit sana. Tapi yang kutahu disanalah mimpiku, disanalah universitas yang ingin kutuju. Aku tersenyum bersambut tawa kecil. Aku kembali teringat omongan amang malam sebelumnya. “Kejarlah itu amang”. Aku merasa keyakinanku sedikit bertambah. Aku ingin kuliah.

.........

Aku berada di sebuah kapal penyebrangan, kapal ferry. Sudah mulai banyak yang berubah di pulau ini. Terlihat beberapa sisi perbukitan yang mulai gundul. Aku ingat ada tulisan “Horas Samosir” yang tergelar di dinding perbukitan saat kita mulai dekat dengan Pulau Samosir namun kini mulai pudar karena beberapa pohon yang mengukirnya sudah layu. Aku begitu merindukan suasana pulau ini. Rasanya tidak ada yang perlu dikejar jika berada di tempat ini. Tanah kelahiranku.

Air Danau Toba begitu tenang, biru dan jernih. Sungguh memanjakan mata. Cuaca yang cerah mengalahkan kabut yang biasanya menutupi perbukitan di sekeliling danau. Ketika cuaca cerah kita bisa dengan jelas melihat beberapa air terjun yang terselip di tengah-tengah perbukitan. Salah satu yang terkenal adalah air terjun patah hati. Dikatakan air terjun patah hati adalah karena air terjunnya tepat mengalir di tengah-tengah dinding bukit yang berbentuk hati. Jadi terlihat seolah-olah air terjun itu memisahkan hati yang menyatu.

Walau matahari bersinar terang, masih ada aroma kesejukan yang terasa di sekujur tubuh. Udaranya pun begitu bersih. Sepanjang perjalanan melintasi danau, kami berpapasan dengan beberapa kapal penumpang yang datang dari arah berlawanan. Terlihat banyak turis mancanegara di setiap kapal penyeberangan tersebut. Aku lihat kulit mereka sudah memerah pertanda mereka sudah berteman dengan matahari pantai.

Dari dulu pulau ini memang sudah menjadi tujuan wisata. Maka tak asing jika kita menemui banyak wajah-wajah bule di tempat ini. Mereka datang dari berbagai penjuru dunia. Tapi yang paling banyak adalah turis dari Australia, Jerman dan Perancis. Aku rasa tak sulit belajar praktik bahasa asing disini karena turis-turis itu begitu ramah dengan orang lokal.

Pemandangan lain yang bisa ditemukan di pulau ini adalah jejeran rumah-rumah warga yang hampir seluruhnya dibangun dengan arsitektur khas Batak. Atapnya yang menjulang tinggi berbentuk segitiga menandakan kemakmuran bagi tiap pemiliknya. Bukan hanya rumah warga, perhotelan, restoran dan beberapa tempat bersantai pun dibangun dengan ciri khas rumah Batak. Warisan budaya yang masih dipertahankan hingga masa kini.

“Papa, apa ada ikan hiu di danau ini?” ah, suara mungil itu, suara puteraku satu-satunya. “Enggak Raja, gak ada hiu disini. Kamu kebanyakan nonton film ah.” jawabku. Dua belas tahun lalu aku ingat saat aku memutuskan meninggalkan pulau indah ini demi cita-cita yang selalu kuimpikan dari ujung bukit sana, di rumahku. Ya dua belas tahun lalu. Aku tak percaya hari ini aku pulang membawa isteri dan buah hatiku untuk pertama kalinya ke ujung bukit sana, ke rumah orangtuaku, ke rumahku.

Aku begitu merindukan kampung halamanku, begitu merindukan amang dan inang. Kesibukan yang luar biasa dua tahun terakhir membuatku tak bisa pulang. Persiapan untuk tutup buku perusahaan di akhir tahun seperti ini membuatku posisiku, posisi Financial Manager begitu dibutuhkan. Beruntung segala sesuatunya sudah aku selesaikan sebelum deadline sehingga aku bisa menikmati beberapa minggu berlibur disini, di pulau yang didaulat sebagai rumah masyarakat Batak ini.

Terkadang aku masih tak percaya akan diriku yang sekarang. Aku yang hanya seorang pemimpi di ujung bukit sana kini datang membawa mimpi itu kembali ke tempatnya dulu diciptakan. Sudah terbayang olehku dulu bekerja di sebuah perusahaan dengan setelan jas dan sepatu kilap. Bahkan aku mendapat yang lebih dari itu. Aku dipromosikan menjadi financial manager setahun lalu, seminggu setelah aku merayakan ulangtahun pertama buah hatiku.

Tujuh tahun sudah aku merintis karier di perusahaan tempatku bekerja dari mulai posisi karyawan biasa, asisten manager hingga posisi yang sekarang. Tidak sia-sia dulu aku mati-matian sekolah S2 dengan modal sendiri karena amang dan inang hanya sanggup menyekolahkanku sampai jenjang S1 saja. Aku bangga pada diriku, seperti aku bangga kepada kedua orangtuaku yang luar biasa.

Hati sudah tak sabar ingin bertemu amang, inang dan saudara-saudaraku. Perjalanan kurang lebih dua jam ke Huta Partukkoan akhirnya membawa mobil yang kusewa sampai di depan pekarangan rumahku. Aku tak bisa memasukkan mobilku ke dalam karena lembu-lembu milik amang menghalangi jalan masuk seakan tidak memedulikan kedatanganku. Ah, aku kembali teringat dua lembu yang dijual demi kuliahku dulu, aku tersenyum.

Wajah-wajah orang yang kukasihi sudah menunggu dengan penuh harap di beranda depan. Dan air mataku tak sungkan mengalir saat kupeluk amang dan inang untuk pertama kalinya setelah dua tahun tak pulang. Aku melihat wajah amang dan inang, baru kusadari bahwa kerutan di wajah mereka sudah lebih banyak dibanding dua tahun lalu. Inang yang masih setia dengan sirih dimulutnya. Dan ini dia, ini dia rumah kami yang  tak banyak berubah dari puluhan tahun lalu, dari aku lahir lebih tepatnya.

“Amang, kita bagusilah rumah kita ini?” ujarku usai makan malam bersama. “Ah, ngapain mesti dibagusi mang, ga perlu lagi sama kami rumah bagus-bagus.” sambut amang. “Yang penting sama kami, bagus-bagus semua anak kami, jadi orang semuanya. Cukup melihat kau dan adek-adekmu sukses udah bangga amang. Ai anakkon hi do hamoraonku na toho, anggo harta na asing i, dang na siboanon mate i.” (hanya anakku lah kekayaan yang sejati, harta yang lain tidak untuk dibawa mati), tegas amang.

Perkataan amang kembali mengingatkan aku akan pesannya dulu. “Anakkon Hi do Hamoraon di Au” sebuah pesan perjuangan bagi seorang ayah untuk anaknya. Pesan perjuangan seorang ayah yang akan kuteruskan dalam diriku. Karena sekarang aku seorang ayah. Dan aku ingin berjuang seperti ayahku dulu. Aku melihat wajah puteraku yang tertidur pulas di pangkuan isteriku.


 >> Didedikasikan kepada seluruh warga Huta Partungkoan, Desa Salaon Dolok, Samosir tempat penulis melakukan praktik kerja lapangan thn 2012. Thankyou for everything, pasti sangat merindukan hutan hijau dan embun sepanjang hari disana :') Special Thanks for : Bpk. Kastro Sitanggang, Keluarga Darwin Sitanggang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar