Rabu, 27 Februari 2013

Jika Aku Menjadi LANSIA!


SORE INI, Jumat 22 Februari 2013 setelah merasa lelah seharian bergumul dengan skripsi dan dosen pembimbing saya putuskan untuk langsung pulang ke kost dan melirik tempat tidur. Oh lelahnya! Tapi tiba-tiba pikiran saya tertuju pada Opung (*bahasa batak untuk menyebut Kakek/Nenek) saya dirumah. Segera saya sambar Handphone untuk menghubungi beliau dirumah sekedar ingin tanya-tanya keadaannya.

Sekedar informasi, Opung (perempuan) saya ini tinggal dirumah bersama kami sekeluarga. Ups, mungkin lebih tepatnya kami sekeluarga yang tinggal dirumahnya. Ya, sejak saya SMP kami sekeluarga sudah tinggal serumah dengan Opung. Sudah hampir dua tahun Opung ditinggal pergi Opung (Laki-laki) saya. Beliau meninggal dunia tahun 2011 silam dan hingga kini masih terasa aura akan kehilangannya dirumah saya.

Jujur saja semenjak kepergian Opung (Laki-laki) saya, Opung sedikit berubah. Beliau menjadi sedikit pendiam dan pemurung. Saya baru sadar dan mengerti bahwa kehilangan pasangan hidup memang bisa membuat beban tersendiri bagi pasangan yang ditinggalkannya. Di awal-awal kepergian Opung (Laki-laki) saya, Opung malah tidak bisa tidur berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan di kamar yang sudah puluhan tahun dia tempati bersama almarhum Opung. Sangat sedih melihat kondisinya saat itu. Bahkan untuk minggu-minggu pertama setelah kepergian Opung saya dan adik harus bergantian menemani beliau tidur guna mengurangi duka dan ingatannya akan Opung.

Dan ada duka tersendiri saat saya berbicara pada Opung lewat Handphone tadi. "Halo Opung, lagi ngapain? Sehat kan?", ujarku memulai percakapan. "Iya sehat, ini lagi nonton. Ini ajanya kerjaku sehari-seharian, nonton sendiri ga ada kawan cakap-cakap. Seharian aku sendiri-sendirian aja di ruang tamu", jawabnya. Ya, dia memang menjawab sambil tertawa, tapi saya cukup mengerti ada sebuah duka tersendiri yang terselip dibalik jawabannya tadi. Oh, itu bukan jawaban, bagi saya itu seperti mengadu.

Ya, saya sedih mendengarnya. Tapi sedih itu saya sembunyikan dan saya ganti dengan kata-kata hiburan yang bisa menenangkan perasaanya. Saya bahkan berkata akan pulang Maret mendatang dan mengusahakan seminggu full menemaninya dirumah.

Saat menutup telepon saya langsung teringat akan mata kuliah Pelayanan Sosial Lansia yang pernah saya dapatkan di semester enam perkuliahan. Pelan-pelan saya merimang-rimangi pesan yang tersirat pada mata kuliah itu. Lansia, apa kebutuhan mereka sebenarnya? Berdasarkan pengalaman nyata yang saya alami, saya akan katankan bahwa LANSIA HANYA BUTUH TEMAN.

Mengapa teman? Coba kita kembali buka ingatan tentang kehidupan zaman Ayah-Ibu kita dulu, atau kehidupan zaman Kakek-Nenek kita. Lansia sama sekali bukan masalah sosial bahkan masalah-masalah menyangkutnya belum begitu eksis. Mengapa? Karena lansia zaman dulu hidup dengan keluarga besar yang menjanjikan asupan akan kebutuhan psikologis yang cukup. Lansia hidup dengan teman, mereka bisa ngobrol kapan saja karena ramainya penghuni di rumah mereka. Lalu apa yang terjadi dengan lansia zaman sekarang?

Seperti Opung saya, lansia cenderung ditinggal sendiri di rumah. Tanpa maksud menelantarkan mereka, penghuni rumah memang rata-rata punya kesibukan dengan jam tinggi di luar rumah. Seperti Ayah saya yang sering tidak berada di rumah, Ibu yang juga bekerja hingga siang/sore, adik yang karena kuliahnya memiliki banyak kesibukan di kampus dan terakhir saya dan abang yang sudah merantau ke luar kota karena pendidikan dan pekerjaan.

Lalu, apa yang terjadi dengan Opung saya yang sendirian di rumah? Dia hanya bisa berdiam diri, karena kalaupun melakukan pekerjaan, kekuatan fisiknya terbatas. Seharian hanya duduk di ruang tamu sambil menonton menghasilkan problem baru yang butuh perhatian secara psikologis. Kerap kali ia berada pada kondisi stress sehingga sering marah-marah tak jelas dan untungnya saya mengerti apa yang meyebabkan hal itu terjadi. Dia kehilangan sosok Opung (Laki-laki) yang sudah puluhan tahun menjadi temannya. Dulu, di setiap waktu senggang saya ingat mereka berdua duduk du ruang tamu dengan makanan ringan di atas meja dan mulai bercerita akan banyak hal. Ada cerita tentang keluarga, masa dulu, masalah-masalah terbaru dan selalu ada saja topik untuk dibicarakan. Berbalik dengan kondisi yang sekarang dimana ia kehilangan teman untuk ngobrol.

Pernah sekali waktu saya pulang ke rumah dan sengaja memberikan ekstra waktu hanya untuk mendengarkan cerita-ceritanya yang bahkan sebagian besarnya sudah berulang-ulang kali ia ceritakan. Tapi dari situ saya melihat ada seperti kepuasan yang didapat Opung. Kepuasan akan kebutuhan teman berbagi yang saat ini semakin minim ia dapatkan. Dari situ saya mulai sadar betapa mudahnya menyenangkan lansia seperti Opung saya. Hanya dengan menjadi TEMAN baginya dan mendengarkan semua ceritanya. Dan terbukti saat kebutuhan akan teman berbagi itu terpenuhi, tempramen beliau lebih stabil dan tidak marah-marah seperti biasanya saat saya tidak ada dirumah.

Yak, kebutuhan sudah terjawab namun timbul lagi masalah baru. Jika jawaban akan kebutuhan lansia adalah ‘TEMAN’ lantas bisakah kita jadi teman untuk mereka : kakek, nenek, bahkan ayah ibu kita kelak; jika waktu kita justru banyak habis diluar rumah? Sangking tingginya jam terbang diluar rumah, begitu pulang yang terpikir hanya langsung istirahat dan hey lagi-lagi kebutuhan si lansia terabaikan. Ini mungkin menjadi tantangan bagi saya, kamu dan kita semua yang hidup dengan lansia di keluarga masing-masing sedang kita punya pekerjaan di luar rumah. Bukankah suatu saat kita juga akan menjadi seperti mereka? Menjadi tua dan butuh perhatian dari ‘teman’?

-dedicated special for My Lovely GrandMother Erseria Rosmalina Girsang. I love U as much as I love My Mother-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar