Jumat, 25 Oktober 2013

Ini Jawabanku : "Banyak Maunya Hingga Bingung Apa Passionku"

Jumat, 11 Oktober kemarin aku sempat memposting artikel di blog ku yang berjudul : "Aku Tidak Menganggur, Aku Menunggu". Atau sahabat sekalian bisa melihatnya disini :

Beruntung pada hari ini (Jumat, 25 Oktober 2013) aku mendapatkan jawaban dan refleksi atas apa yang menjadi keresahan di tulisanku yang sebelumnya.

Bapak Josef Bataona, HR Director Indofood dengan baik hati meluangkan waktunya untuk sebuah artikel yang menjawab keresahanku akan pilihan perjalanan job yang sudah didepan mata. Berjudul "Banyak Maunya Hingga Bingung Apa Passionku" menjadi perenungan ampuh di pagi hari ini.

Aku akan tuliskan tiga pertanyaan refleksi yang beliau ingin aku pertimbangkan dan jawab:
  • Pernahkan terpikir bahwa sebetulnya doaku sudah dikabulkan? Sudah ditawari pekerjaan?
  • Mungkinkah kesempatan kerja yang ada di depan mata ini sesungguhnya merupakan batu loncatan untuk destiny berikutnya, karena ada pengetahuan dan pengalaman yang perlu diperoleh agar pekerjaan sesuai passion itu bisa optimum?
  • Sudahkah digali, apakah ada elemen yang diperlukan untuk pekerjaan sesuai passionku, justru dipelajari dari pekerjaan yang sudah ditawari ini?

Selengkapnya bisa sahabat baca disini :
http://www.portalhr.com/blog/josefbataona/inspirasi/banyak-maunya-hingga-bingung-apa-passionku/ 

Bersyukur pada Tuhan karena masih ada orang baik dan berpengalaman yang bersedia membantu menjawab keresahan akan perjalanan job yang kualami saat ini. Artikel beliau juga menuntunku kepada beberapa point penting yang membuka pikiranku akan pertimbangan-pertimbangan yang tidak terpikirkan sebelumnya.

Diatas segalanya, aku berharap bisa mengambil keputusan yang tepat akan pilihan yang kini berada di depan mata. Terimakasih Pak Josef. Keep Inspiring Others! 

Jumat, 11 Oktober 2013

“Aku Tidak Menganggur, Aku Menunggu”

Siang yang mendung, aku berdiam di kamarku dan tidak melakukan apapun. Yah, daripada ngga ngapa-ngapain aku memilih untuk hidupin laptop. Pas laptop udah menyala, aku malah bingung mau ngapain. Okelah, aku akan menulis. Menulis dan menulis kisah hidup sebagai pengangguran yang kualami sekarang.
Namaku resmi bertambah empat huruf tepat 7 September lalu. Empat huruf yang kuraih dalam kurun waktu tepat empat tahun. Apa itu artinya satu huruf kuukir selama setahun? Halagh, apa sih? Tidak terlalu excellent memang, karena empat huruf yang kumaksud itu S.Sos bukan tiga huruf keren semisal DSW atau P.hD. Oke oke, DSWnya nanti menyusul yah. Santai saja..
Hampir satu bulan aku menghabiskan waktuku dengan kegiatan yang begitu-begitu saja. Sedih sekali mengatakan bahwa aku pengangguran. Rasanya itu sebuah kata yang buruk. Kata yang dipandang orang dengan sebelah mata dan kata yang cukup potensial untuk bisa membuat orang lain tersenyum sinis. Bangun pagi, aku merapikan kamar kost. Mulai mencari-cari kegiatan seperti sekedar bolak-balik kampus untuk mengurus transkrip (padahal sampai sekarang belum jua kelar), atau menyuci pakaian, menyetrika, searching pekerjaan di situs job vacancy dan beberapa pekerjaan non-prestige lainnya.
Sedih ya memang jadi pengangguran. Waktu itu seminggu pasca wisuda, aku dan teman dekatku janjian mengambil foto-foto wisuda di auditorium dan setelahnya kami sepakat untuk menghabiskan segelas capucino bersama. Kami berbagi pengalaman pasca seminggu sarjana dan sepakat menyatakan bahwa kami mulai kebingungan melangkah. Tidak hanya itu, kami juga mulai terbeban pertanyaan-pertanyaan dari orangtua tentang apply pekerjaan, tentang langkah selanjutnya dan yang paling parah adalah kami mulai ‘stress ringan’ karena terjebak dengan rutinitas -gak tau mau ngapain- sepanjang harinya. That’s terrible, baby!
Jangan bilang kalau aku tidak melakukan apa-apa. Aku tahu pekerjaan seperti apa yang kuinginkan. Hingga saat ini aku sudah tiga kali melamar pekerjaan di bidang yang kuinginkan itu. Tapi yah, begitulah. Mungkin Tuhan bilang ‘belum’. Pada satu kesempatan di akhir September aku bertemu Bapak Deni Puspahadi -CSR Manager Indofood- dan beliau menawarkan pekerjaan di perkebunan untukku. Pekerjaan di PT.PP London Sumatra (Lonsum). Lonsum ini semacam salah satu perkebunan sawit terbesar di Indonesia dan sudah menjadi salah satu anak perusahaan Indofood (IndoAgri).
Aku akan ditempatkan di posisi mana saja yang membutuhkan tenaga baru. Tapi ya, persoalan lain muncul lagi. Ada satu kata yang cukup menggangu pikiranku terkait ini semua. Dan satu kata pecicilan nan nakal itu ialah “PASSION”. Aku tahu pekerjaan yang ditawarkan Pak Deni bukanlah passionku. Inginnya sih bekerja di isu sosial-kemanusiaan, sedang pekerjaan yang ditawarkan Pak Deni bisa jadi di bagian administrasi, HR, auditor atau apapun itu yang tidak berkaitan dengan dunia sosial-kemanusiaan.
Kembali teringat sesi ‘Passion’ bersama Mas Rene. Mas Rene bilang terkadang pencari kerja memang terjebak dalam dua kondisi yakni : mengapply pekerjaan yang tersedia VS menunggu pekerjaan yang sesuai dengan passion. Mengapply pekerjaan yang tersedia memang lebih mudah karena kita tinggal searching/tanya/mengambil pekerjaan apa saja yang ditawarkan. Tinggal siapkan segala keperluan yang terkait dunia pelamaran kerja saja dan sisanya adalah belajar di dalam. Tapi pertanyaannya, itukah pekerjaan yang sesuai dengan yang hatimu inginkan? Apa kau akan bekerja dengan hatimu saat kau dapat pekerjaan yang bukan hatimu mau? Huft, pantas saja Mas Rene bilang : “Your Job Is NOT Your Carrer”. Karena kebanyakan orang cenderung ingin bekerja ‘apa saja yang tersedia’ dibanding menggali potensi utama dari dirinya dan mencari pekerjaan yang sesuai dengan minat dan potensinya itu.
Aku terus-menerus terjebak dengan pikiranku sendiri. Takut dibilang sombong karena pilih-pilih pekerjaan, tapi seriously, I do really know where the place I must join together. I want to be a right woman on the right place. Aku ingin bekerja itu nggak asal-asalan. Aku ingin bekerja itu pakai hati, sehingga aku bisa berkarya maksimal. Sehingga bekerja bukan lagi sebuah beban bagiku karena aku bahagia melakukannya. I know my talent, that’s why I want to maximize it on the right place. Aku rindu mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan passionku, sehingga aku nggak perlu terus-menerus melihat jam dan menunggu waktu pulang karena aku tersiksa di pekerjaan yang ‘bukan aku’.
Beberapa minggu ini aku mulai mendoakan pekerjaan ku. Ini semacam therapy untuk mengalahkan keegoisanku. Apa yang kuanggap benar kan belum tentu juga dianggap benar olehNYA. Aku mulai berdoa, aku mulai meminta agar Tuhan mendekatkan aku ke pekerjaan yang memang passionku, dan aku berharap ini bukan wujud ego ku, melainkan wujud dari sebuah kerinduan bahwa aku ingin bekerja dengan hati, aku ingin berkarya maksimal di tempat yang nantinya Tuhan percayakan untukku. Aku sedang berjuang sekarang. Aku bukan pengangguran, aku bukannya tidak ngapa-ngapain. Aku menunggu Tuhan tempatkan aku di tempat yang seharusnya IA inginkan aku berada dan berkarya. Aku ingin bahagia dengan pekerjaanku. Aku ingin bekerja diatas pijakan intuisiku. Karena kuyakin aku akan bahagia dengan itu. Steve Jobs bilang : Have the courage to follow your heart and intuition.Itulah kunci kebahagiaan hidup menurut Jobs : mengikuti kata hati! So.. May God leads all the job seekers!

Senin, 07 Oktober 2013

Transisi VS Zona Nyaman


Agustus sepertinya menjadi bulan yang cukup bersejarah sejak tahun lalu. Terang saja, setiap kali memasuki bulan ini ada saja pergumulan berat yang harus kulalui. Ingatan membawaku ke Agustus 2011, saat aku dihadapkan pada sebuah pergumulan berat yang membuat aku sesak setiap malam dan harus menangis. Tak ada yang mampu mengobatinya hingga aku memutuskan untuk pulang kerumah karena dirumah aku takkan mungkin menangis hampir tiap malam. Bukan karena aku bahagia, tapi karena tak mungkin kulakukan itu jika tidak ingin membuat Mama cemas. Dan heloow, ini baru awal Agustus sedang aku kembali dihadapkan pada pergumulan yang hampir sama dengan Agustus tahun lalu. Aku namakan ini masa transisi! Ya, masa transisi!

24 Juli, aku bersyukur untuk sidang meja hijau yang telah berhasil kulalui. Ada perasaan lega yang sangat luar biasa saat tahu bahwa perjuangan telah selesai. Belum sadar ketika itu bahwasannya perjuangan yang sesungguhnya baru saja dimulai. Ucapan selamat demi selamat mulai berdatangan. Ucapan selamat yang ambigu, ucapan selamat yang mempunyai dua arti bagiku. Arti yang tidak perlu kusebutkan maknanya disini.

Hingga hari ini aku harus berkali-kali mengalami perpisahan dengan orang terdekatku. Mulai dari semalam dan hari ini, aku harus berpisah dengan tiga orang dan harus mendengar perpisahan yang akan datang dengan seorang sahabat dekat. Inilah yang membuatku sedikit gusar. Masa transisi itu telah di depan mata. Masa transisi yang akan membawaku ke kehidupan yang baru, yang mungkin tidak senyaman apa yang selama ini kulalui.

Setelah berpisah dengan orang terdekat yang satu, hari ini aku menemukan diriku ditinggal dua tetangga kost yang telah tiga tahun menjadi tetanggaku. Yang satu cewek, dan yang satu cowok. Era kost-kostanku mungkin memang sudah berlalu dan akan digantikan dengan wajah-wajah asing mulai dari bulan (semester) depan. Dan hari ini juga aku mendengar kabar perpisahan dari seorang sahabat dekatku yang akan bertolak ke negeri ginseng Korea demi beasiswa International Social Workernya.

See? Dalam dua hari aku harus berpisah dengan tiga orang dan mendengar kabar perpisahan dari seorang lainnya. Jadi jumlahnya empat orang. Empat orang yang kuyakini tidak sedang membuat janji untuk meninggalkanku. Inilah masa transisi itu. Masa transisi dari anak kuliahan ke orang dewasa yang harus bekerja dan menemukan masa depannya.

Begitu pula masa transisi sebelumnya, dari masa SMA menuju ke bangku kuliahan. Saat itu sangat mirip dengan apa yang kurasakan sekarang. Masa transisi yang menyedihkan. Masa transisi yang membuatku tidak ingin melangkah karena terlalu sayang melepas yang sebelumnya. Saat SMA aku menemukan teman-teman yang sangat baik, sangat hangat dan akrab, ditambah lagi saat itu masih sekelas dengan orang yang disayang. Dan ketika saat itu harus berakhir, aku merasakan duka yang sangat dalam karena aku tahu aku akan kehilangan hari-hari seru yang kulalui di SMA.

Waktu membawaku melangkah hingga empat tahun ke depan, tahun dimana aku sudah selesai dari masa perkuliahan. Inilah masa itu, masa yang kembali membawaku ke masa transisi selanjutnya dan masa yang kembali membawaku ke masa kecemasan seperti masa sebelumnya. Banyak yang ditakutkan, banyak yang dikhawatirkan tanpa tahu kemana arah kekhawatiran itu.

Terkadang aku penasaran, zat-zat apa saja yang menjadi komposisi otakku karena sedemikian rumitnya pikiran. Apakah ada orang lain seperti aku? Atau inikah resiko senang menyendiri? Resiko Introvert yang meyedihkan? Atau apa? Terkadang sampai iri lho melihat orang lain yang begitu gampang dan entengnya melangkah dalam hidupnya. Apakah mereka tidak secemas aku? Atau tidak adakah zat-zat seperti yang ada dalam otakku di dalam otak mereka?

Masa transisi ini sungguh sulit. Aku harus memaksa diriku untuk bisa terus maju dan perlahan-lahan meninggalkan zona nyamanku. Karena kalau tidak begitu aku akan terus terjebak dan suatu saat nanti akan menemukan diriku tertinggal terlalu jauh dari yang lainnya.