Agustus sepertinya menjadi bulan yang cukup bersejarah sejak
tahun lalu. Terang saja, setiap kali memasuki bulan ini ada saja pergumulan
berat yang harus kulalui. Ingatan membawaku ke Agustus 2011, saat aku dihadapkan pada
sebuah pergumulan berat yang membuat aku sesak setiap malam dan harus menangis.
Tak ada yang mampu mengobatinya hingga aku memutuskan untuk pulang kerumah
karena dirumah aku takkan mungkin menangis hampir tiap malam. Bukan karena aku
bahagia, tapi karena tak mungkin kulakukan itu jika tidak ingin membuat Mama
cemas. Dan heloow, ini baru awal Agustus sedang aku kembali dihadapkan pada
pergumulan yang hampir sama dengan Agustus tahun lalu. Aku namakan ini masa
transisi! Ya, masa transisi!
24 Juli, aku
bersyukur untuk sidang meja hijau yang telah berhasil kulalui. Ada
perasaan lega yang sangat luar biasa saat tahu bahwa perjuangan telah selesai.
Belum sadar ketika itu bahwasannya perjuangan yang sesungguhnya baru saja
dimulai. Ucapan selamat demi selamat mulai berdatangan. Ucapan selamat yang
ambigu, ucapan selamat yang mempunyai dua arti bagiku. Arti yang tidak perlu kusebutkan
maknanya disini.
Hingga hari
ini aku harus berkali-kali mengalami perpisahan dengan orang terdekatku. Mulai
dari semalam dan hari ini, aku harus berpisah dengan tiga orang dan harus
mendengar perpisahan yang akan datang dengan seorang sahabat dekat. Inilah yang
membuatku sedikit gusar. Masa transisi itu telah di depan mata. Masa transisi
yang akan membawaku ke kehidupan yang baru, yang mungkin tidak senyaman apa
yang selama ini kulalui.
Setelah
berpisah dengan orang terdekat yang satu, hari ini aku menemukan diriku
ditinggal dua tetangga kost yang telah tiga tahun menjadi tetanggaku. Yang satu
cewek, dan yang satu cowok. Era kost-kostanku mungkin memang sudah berlalu dan
akan digantikan dengan wajah-wajah asing mulai dari bulan (semester) depan. Dan
hari ini juga aku mendengar kabar perpisahan dari seorang sahabat dekatku yang
akan bertolak ke negeri ginseng Korea demi beasiswa International Social
Workernya.
See? Dalam
dua hari aku harus berpisah dengan tiga orang dan mendengar kabar perpisahan
dari seorang lainnya. Jadi jumlahnya empat orang. Empat orang yang kuyakini
tidak sedang membuat janji untuk meninggalkanku. Inilah masa transisi itu. Masa
transisi dari anak kuliahan ke orang dewasa yang harus bekerja dan menemukan
masa depannya.
Begitu pula masa transisi sebelumnya, dari masa SMA menuju ke bangku kuliahan. Saat
itu sangat mirip dengan apa yang kurasakan sekarang. Masa transisi yang
menyedihkan. Masa transisi yang membuatku tidak ingin melangkah karena terlalu
sayang melepas yang sebelumnya. Saat SMA aku menemukan teman-teman yang sangat
baik, sangat hangat dan akrab, ditambah lagi saat itu masih sekelas dengan
orang yang disayang. Dan ketika saat itu harus berakhir, aku merasakan duka
yang sangat dalam karena aku tahu aku akan kehilangan hari-hari seru yang
kulalui di SMA.
Waktu
membawaku melangkah hingga empat tahun ke depan, tahun dimana aku sudah selesai
dari masa perkuliahan. Inilah masa itu, masa yang kembali membawaku ke masa
transisi selanjutnya dan masa yang kembali membawaku ke masa kecemasan seperti
masa sebelumnya. Banyak yang ditakutkan, banyak yang dikhawatirkan tanpa tahu
kemana arah kekhawatiran itu.
Terkadang
aku penasaran, zat-zat apa saja yang menjadi komposisi otakku karena sedemikian
rumitnya pikiran. Apakah ada orang lain seperti aku? Atau inikah resiko senang
menyendiri? Resiko Introvert yang meyedihkan? Atau apa? Terkadang sampai iri
lho melihat orang lain yang begitu gampang dan entengnya melangkah dalam
hidupnya. Apakah mereka tidak secemas aku? Atau tidak adakah zat-zat seperti
yang ada dalam otakku di dalam otak mereka?
Masa
transisi ini sungguh sulit. Aku harus memaksa diriku untuk bisa terus maju dan perlahan-lahan
meninggalkan zona nyamanku. Karena kalau tidak begitu aku akan terus terjebak
dan suatu saat nanti akan menemukan diriku tertinggal terlalu jauh dari yang
lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar