Senin, 07 Oktober 2013

Transisi VS Zona Nyaman


Agustus sepertinya menjadi bulan yang cukup bersejarah sejak tahun lalu. Terang saja, setiap kali memasuki bulan ini ada saja pergumulan berat yang harus kulalui. Ingatan membawaku ke Agustus 2011, saat aku dihadapkan pada sebuah pergumulan berat yang membuat aku sesak setiap malam dan harus menangis. Tak ada yang mampu mengobatinya hingga aku memutuskan untuk pulang kerumah karena dirumah aku takkan mungkin menangis hampir tiap malam. Bukan karena aku bahagia, tapi karena tak mungkin kulakukan itu jika tidak ingin membuat Mama cemas. Dan heloow, ini baru awal Agustus sedang aku kembali dihadapkan pada pergumulan yang hampir sama dengan Agustus tahun lalu. Aku namakan ini masa transisi! Ya, masa transisi!

24 Juli, aku bersyukur untuk sidang meja hijau yang telah berhasil kulalui. Ada perasaan lega yang sangat luar biasa saat tahu bahwa perjuangan telah selesai. Belum sadar ketika itu bahwasannya perjuangan yang sesungguhnya baru saja dimulai. Ucapan selamat demi selamat mulai berdatangan. Ucapan selamat yang ambigu, ucapan selamat yang mempunyai dua arti bagiku. Arti yang tidak perlu kusebutkan maknanya disini.

Hingga hari ini aku harus berkali-kali mengalami perpisahan dengan orang terdekatku. Mulai dari semalam dan hari ini, aku harus berpisah dengan tiga orang dan harus mendengar perpisahan yang akan datang dengan seorang sahabat dekat. Inilah yang membuatku sedikit gusar. Masa transisi itu telah di depan mata. Masa transisi yang akan membawaku ke kehidupan yang baru, yang mungkin tidak senyaman apa yang selama ini kulalui.

Setelah berpisah dengan orang terdekat yang satu, hari ini aku menemukan diriku ditinggal dua tetangga kost yang telah tiga tahun menjadi tetanggaku. Yang satu cewek, dan yang satu cowok. Era kost-kostanku mungkin memang sudah berlalu dan akan digantikan dengan wajah-wajah asing mulai dari bulan (semester) depan. Dan hari ini juga aku mendengar kabar perpisahan dari seorang sahabat dekatku yang akan bertolak ke negeri ginseng Korea demi beasiswa International Social Workernya.

See? Dalam dua hari aku harus berpisah dengan tiga orang dan mendengar kabar perpisahan dari seorang lainnya. Jadi jumlahnya empat orang. Empat orang yang kuyakini tidak sedang membuat janji untuk meninggalkanku. Inilah masa transisi itu. Masa transisi dari anak kuliahan ke orang dewasa yang harus bekerja dan menemukan masa depannya.

Begitu pula masa transisi sebelumnya, dari masa SMA menuju ke bangku kuliahan. Saat itu sangat mirip dengan apa yang kurasakan sekarang. Masa transisi yang menyedihkan. Masa transisi yang membuatku tidak ingin melangkah karena terlalu sayang melepas yang sebelumnya. Saat SMA aku menemukan teman-teman yang sangat baik, sangat hangat dan akrab, ditambah lagi saat itu masih sekelas dengan orang yang disayang. Dan ketika saat itu harus berakhir, aku merasakan duka yang sangat dalam karena aku tahu aku akan kehilangan hari-hari seru yang kulalui di SMA.

Waktu membawaku melangkah hingga empat tahun ke depan, tahun dimana aku sudah selesai dari masa perkuliahan. Inilah masa itu, masa yang kembali membawaku ke masa transisi selanjutnya dan masa yang kembali membawaku ke masa kecemasan seperti masa sebelumnya. Banyak yang ditakutkan, banyak yang dikhawatirkan tanpa tahu kemana arah kekhawatiran itu.

Terkadang aku penasaran, zat-zat apa saja yang menjadi komposisi otakku karena sedemikian rumitnya pikiran. Apakah ada orang lain seperti aku? Atau inikah resiko senang menyendiri? Resiko Introvert yang meyedihkan? Atau apa? Terkadang sampai iri lho melihat orang lain yang begitu gampang dan entengnya melangkah dalam hidupnya. Apakah mereka tidak secemas aku? Atau tidak adakah zat-zat seperti yang ada dalam otakku di dalam otak mereka?

Masa transisi ini sungguh sulit. Aku harus memaksa diriku untuk bisa terus maju dan perlahan-lahan meninggalkan zona nyamanku. Karena kalau tidak begitu aku akan terus terjebak dan suatu saat nanti akan menemukan diriku tertinggal terlalu jauh dari yang lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar