Dulu saat aku
kecil, Mama bilang aku suka berebut mainan dengan abangku. Percayalah aku masih
tetap begitu. Namun kini bukan mainan yang kurebut melainkan sejumlah prestasi
dan urutan teratas dalam setiap kompetisi. Sayangnya dalam setiap kompetisi
kehidupan aku tak selalu bisa merebut posisi puncak. Tapi tak mengapa, jalan
masih panjang (padahal isunya 2012 kiamat! Hahaha).
Dulu saat aku
kecil, Mama bilang aku tak kenal lelah. Berlari kian kemari, tak peduli berapa
kali aku jatuh aku tetap bangkit dan kembali berlari lagi. Tapi kini aku sudah
dewasa, Ma. Terkadang aku lelah dengan permainan kehidupan. Disaat aku terjatuh
aku malas bangkit lagi. Kebosanan, kepenatan sering menyambangi hidupku. Ada
begitu banyak waktu yang kuhabiskan tanpa berbuat apapun. Aku ingin kembali
menjadi anak kecil itu. Anak kecil yang tak kenal putus asa.
Dulu saat aku
kecil, Mama mengajarkanku tentang Tuhan. Guru sekolah mingguku juga melakukan
hal yang sama. Kata mereka Tuhan itu baik, Maha Pengasih, selalu menolong
setiap kesusahan anak-anakNYA dan aku percaya itu! Aku yakin Tuhan setia. Kini
aku sudah dewasa. Begitu banyak beban dan persoalan hidup hilir-mudik di
kehidupanku. Dan aku mulai bertanya, benarkah yang kuyakini ketika aku kecil
dulu. Bahkan aku pernah dengar beberapa pertanyaan yang selalu menanyakan hal
yang sama, “Apakah Tuhan benar-benar ada?” Dan otakku mulai berkutat tentang
pertanyaan para filsuf-filsuf besar tentang keberadaan Tuhan (akibat mata kuliah
filsafat dan semboyan yang sering kudengar di kampus bahwa mahasiswa harus
radikal! Hahaha, masa iya?). Oke, lupakan mata kuliah filsafat! Aku masih
percaya Tuhan! Aku masih anak kecil itu, anak kecil yang percaya bahwa Tuhan
adalah sumber kekuatan yang tak terlihat.
Dulu saat aku
kecil, aku kira ketidakadilan itu adalah manakala abangku dibelikan
mobil-mobilan yang bagus sekali sementara aku hanya mendapat sebuah boneka
(mirip) Barbie yang bahkan kelihatan tidak menarik bagiku. Ketidakadilan itu
pikirku adalah saat abangku diberi uang jajan yang lebih banyak dariku
sementara aku hanya bisa memandangi permen gula temanku yang kelihatan begitu
menggiurkan karena aku tidak mampu membelinya. Kini aku sudah dewasa, dan makna
ketidakadilan yang kukira dulu ternyata tidak se-simpel itu. Aku menjumpai
begitu banyak ketidakadilan justru disaat aku sudah beranjak dewasa. Disaat
seorang tetangga berkata,”Wah..Evi kuliah di Usu ya? Hebat!” Bangganya aku
mendengarnya. Lalu ia bertanya lagi, ”Jurusan apa di Usu, vi?” Aku yang masih
terbawa perasaan bangga pun masih dengan bangganya berkata, ”Ilmu Kesejahteraan
Sosial!” Dan yang kutemui adalah bapak itu terdiam sejenak sambil
mengkernyitkan dahinya. Ilmu kesejahteraan sosial itu apa? Sejenis penyedap
rasa ya? Ah..mungkin itu yang dia pikirkan. Seketika itu perasaan banggaku
hilang. Kemudian ia lanjut bertanya,”Mau jadi apalah nanti kalau tamat dari
jurusanmu?” Dan dengan perasaan bangga yang sedikit kupaksakan kujawab.”PEKERJA
SOSIAL.” Dan dia kembali terdiam sambil mengkernyitkan dahinya (lagi). Apa itu
pekerja sosial? Baru dengar. Profesi apa itu? Profesi mengusir alien dari bumi?
Mungkin begitulah kira-kira isi pikirannya. Dan hei Pak Tua, aku mendengarmu!
Dalam hati aku berjanji untuk rela membayarinya paket internet tiga jam supaya
dia tahu dan mengerti apa itu Pekerja Sosial dari Uncle GOOGLE. Ya..Uncle
GOOGLE yang cukup ramah pada mahasiswa-mahasiswa yang (kurang) rajin, termasuk
saya. Itu potret ketidakadilan yang paling nyata di hidupku. Hahaha
Dan pada akhirnya melalui tulisan ini, aku mengundang pembaca untuk kembali menjadi anak kecil lagi.Anak kecil yang lucu sehingga bisa menjadi berkat buat sesama. Anak kecil yang oleh karenanya orang-orang di sekelilingnya bisa tertawa.Anak kecil yang kompetitif dalam setiap pertarungan kehidupan.Anak kecil yang selalu yakin bahwa Tuhan hidup di setiap nafasnya.Dan anak kecil yang tetap bertahan walau berdiri diatas ketidakadilan.Selamat menjadi anak kecil..!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar