Sabtu, 16 Februari 2013

Aku Hanya Seorang Anak Kecil

Dulu saat aku kecil, Mama bilang banyak orang yang mencium dan menyubit pipiku sambil berkata,”Wah, lucu sekali anaknya!”. Kini aku masih tetap seperti anak kecil itu. Aku masih lucu, setidaknya masih berusaha untuk lucu. Aku ingin membuat orang-orang disekitarku tertawa walau harga sembako makin hari makin mahal (hubungannya apa?). Aku tak pernah bosan tertawa, menertawai diri sendiri bahkan sepertinya jadi kegiatan yang menarik. Aku ingin tertawa, tertawa hingga lelah walau dunia mempermainkan hidupku dengan begitu lucunya. Aku masih lucu!

Dulu saat aku kecil, Mama bilang aku suka berebut mainan dengan abangku. Percayalah aku masih tetap begitu. Namun kini bukan mainan yang kurebut melainkan sejumlah prestasi dan urutan teratas dalam setiap kompetisi. Sayangnya dalam setiap kompetisi kehidupan aku tak selalu bisa merebut posisi puncak. Tapi tak mengapa, jalan masih panjang (padahal isunya 2012 kiamat! Hahaha).

Dulu saat aku kecil, Mama bilang aku tak kenal lelah. Berlari kian kemari, tak peduli berapa kali aku jatuh aku tetap bangkit dan kembali berlari lagi. Tapi kini aku sudah dewasa, Ma. Terkadang aku lelah dengan permainan kehidupan. Disaat aku terjatuh aku malas bangkit lagi. Kebosanan, kepenatan sering menyambangi hidupku. Ada begitu banyak waktu yang kuhabiskan tanpa berbuat apapun. Aku ingin kembali menjadi anak kecil itu. Anak kecil yang tak kenal putus asa.

Dulu saat aku kecil, Mama mengajarkanku tentang Tuhan. Guru sekolah mingguku juga melakukan hal yang sama. Kata mereka Tuhan itu baik, Maha Pengasih, selalu menolong setiap kesusahan anak-anakNYA dan aku percaya itu! Aku yakin Tuhan setia. Kini aku sudah dewasa. Begitu banyak beban dan persoalan hidup hilir-mudik di kehidupanku. Dan aku mulai bertanya, benarkah yang kuyakini ketika aku kecil dulu. Bahkan aku pernah dengar beberapa pertanyaan yang selalu menanyakan hal yang sama, “Apakah Tuhan benar-benar ada?” Dan otakku mulai berkutat tentang pertanyaan para filsuf-filsuf besar tentang keberadaan Tuhan (akibat mata kuliah filsafat dan semboyan yang sering kudengar di kampus bahwa mahasiswa harus radikal! Hahaha, masa iya?). Oke, lupakan mata kuliah filsafat! Aku masih percaya Tuhan! Aku masih anak kecil itu, anak kecil yang percaya bahwa Tuhan adalah sumber kekuatan yang tak terlihat.

 
Dulu saat aku kecil, aku kira ketidakadilan itu adalah manakala abangku dibelikan mobil-mobilan yang bagus sekali sementara aku hanya mendapat sebuah boneka (mirip) Barbie yang bahkan kelihatan tidak menarik bagiku. Ketidakadilan itu pikirku adalah saat abangku diberi uang jajan yang lebih banyak dariku sementara aku hanya bisa memandangi permen gula temanku yang kelihatan begitu menggiurkan karena aku tidak mampu membelinya. Kini aku sudah dewasa, dan makna ketidakadilan yang kukira dulu ternyata tidak se-simpel itu. Aku menjumpai begitu banyak ketidakadilan justru disaat aku sudah beranjak dewasa. Disaat seorang tetangga berkata,”Wah..Evi kuliah di Usu ya? Hebat!” Bangganya aku mendengarnya. Lalu ia bertanya lagi, ”Jurusan apa di Usu, vi?” Aku yang masih terbawa perasaan bangga pun masih dengan bangganya berkata, ”Ilmu Kesejahteraan Sosial!” Dan yang kutemui adalah bapak itu terdiam sejenak sambil mengkernyitkan dahinya. Ilmu kesejahteraan sosial itu apa? Sejenis penyedap rasa ya? Ah..mungkin itu yang dia pikirkan. Seketika itu perasaan banggaku hilang. Kemudian ia lanjut bertanya,”Mau jadi apalah nanti kalau tamat dari jurusanmu?” Dan dengan perasaan bangga yang sedikit kupaksakan kujawab.”PEKERJA SOSIAL.” Dan dia kembali terdiam sambil mengkernyitkan dahinya (lagi). Apa itu pekerja sosial? Baru dengar. Profesi apa itu? Profesi mengusir alien dari bumi? Mungkin begitulah kira-kira isi pikirannya. Dan hei Pak Tua, aku mendengarmu! Dalam hati aku berjanji untuk rela membayarinya paket internet tiga jam supaya dia tahu dan mengerti apa itu Pekerja Sosial dari Uncle GOOGLE. Ya..Uncle GOOGLE yang cukup ramah pada mahasiswa-mahasiswa yang (kurang) rajin, termasuk saya. Itu potret ketidakadilan yang paling nyata di hidupku. Hahaha

Dan pada akhirnya melalui tulisan ini, aku mengundang pembaca untuk kembali menjadi anak kecil lagi.
Anak kecil yang lucu sehingga bisa menjadi berkat buat sesama. Anak kecil yang oleh karenanya orang-orang di sekelilingnya bisa tertawa.
Anak kecil yang kompetitif dalam setiap pertarungan kehidupan.
Anak kecil yang selalu yakin bahwa Tuhan hidup di setiap nafasnya.
Dan anak kecil yang tetap bertahan walau berdiri diatas ketidakadilan.
Selamat menjadi anak kecil..!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar