Siang yang mendung, aku berdiam di kamarku dan
tidak melakukan apapun. Yah, daripada ngga ngapa-ngapain aku memilih untuk
hidupin laptop. Pas laptop udah menyala, aku malah bingung mau ngapain. Okelah,
aku akan menulis. Menulis dan menulis kisah hidup sebagai pengangguran yang
kualami sekarang.
Namaku resmi bertambah
empat huruf tepat 7 September lalu. Empat huruf yang kuraih dalam kurun waktu
tepat empat tahun. Apa itu artinya satu huruf kuukir selama setahun? Halagh,
apa sih? Tidak terlalu excellent memang, karena empat huruf yang kumaksud itu
S.Sos bukan tiga huruf keren semisal DSW atau P.hD. Oke oke, DSWnya nanti
menyusul yah. Santai saja..
Hampir satu bulan aku
menghabiskan waktuku dengan kegiatan yang begitu-begitu saja. Sedih sekali
mengatakan bahwa aku pengangguran. Rasanya itu
sebuah kata yang buruk. Kata yang dipandang orang dengan sebelah mata dan kata
yang cukup potensial untuk bisa membuat orang lain tersenyum sinis. Bangun
pagi, aku merapikan kamar kost. Mulai mencari-cari kegiatan seperti sekedar bolak-balik
kampus untuk mengurus transkrip (padahal sampai sekarang belum jua kelar),
atau menyuci pakaian, menyetrika, searching
pekerjaan di situs job vacancy dan
beberapa pekerjaan non-prestige lainnya.
Sedih ya memang jadi
pengangguran. Waktu itu seminggu pasca wisuda, aku dan teman dekatku janjian
mengambil foto-foto wisuda di auditorium dan setelahnya kami sepakat untuk
menghabiskan segelas capucino
bersama. Kami berbagi pengalaman pasca seminggu sarjana dan sepakat menyatakan
bahwa kami mulai kebingungan melangkah. Tidak hanya itu, kami juga mulai
terbeban pertanyaan-pertanyaan dari orangtua tentang apply pekerjaan, tentang langkah selanjutnya dan yang paling parah
adalah kami mulai ‘stress ringan’ karena terjebak dengan rutinitas -gak tau mau ngapain- sepanjang harinya. That’s terrible, baby!
Jangan bilang kalau aku
tidak melakukan apa-apa. Aku tahu pekerjaan seperti apa yang kuinginkan. Hingga
saat ini aku sudah tiga kali melamar pekerjaan di bidang yang kuinginkan itu.
Tapi yah, begitulah. Mungkin Tuhan bilang ‘belum’. Pada satu kesempatan di
akhir September aku bertemu Bapak Deni Puspahadi -CSR Manager Indofood- dan
beliau menawarkan pekerjaan di perkebunan untukku. Pekerjaan di PT.PP London
Sumatra (Lonsum). Lonsum ini semacam salah satu perkebunan sawit terbesar di
Indonesia dan sudah menjadi salah satu anak perusahaan Indofood (IndoAgri).
Aku akan ditempatkan di
posisi mana saja yang membutuhkan tenaga baru. Tapi ya, persoalan lain muncul
lagi. Ada satu kata yang cukup menggangu pikiranku terkait ini semua. Dan satu
kata pecicilan nan nakal itu ialah “PASSION”.
Aku tahu pekerjaan yang ditawarkan Pak Deni bukanlah passionku. Inginnya sih bekerja di isu sosial-kemanusiaan, sedang
pekerjaan yang ditawarkan Pak Deni bisa jadi di bagian administrasi, HR,
auditor atau apapun itu yang tidak berkaitan dengan dunia sosial-kemanusiaan.
Kembali teringat sesi ‘Passion’ bersama Mas Rene. Mas Rene
bilang terkadang pencari kerja memang terjebak dalam dua kondisi yakni :
mengapply pekerjaan yang tersedia VS menunggu pekerjaan yang sesuai dengan passion. Mengapply pekerjaan yang
tersedia memang lebih mudah karena kita tinggal searching/tanya/mengambil pekerjaan apa saja yang ditawarkan.
Tinggal siapkan segala keperluan yang terkait dunia pelamaran kerja saja dan
sisanya adalah belajar di dalam. Tapi pertanyaannya, itukah pekerjaan yang
sesuai dengan yang hatimu inginkan? Apa kau akan bekerja dengan hatimu saat kau
dapat pekerjaan yang bukan hatimu mau? Huft, pantas saja Mas Rene bilang : “Your Job Is NOT Your Carrer”. Karena
kebanyakan orang cenderung ingin bekerja ‘apa saja yang tersedia’ dibanding
menggali potensi utama dari dirinya dan mencari pekerjaan yang sesuai dengan
minat dan potensinya itu.
Aku terus-menerus
terjebak dengan pikiranku sendiri. Takut dibilang sombong karena pilih-pilih
pekerjaan, tapi seriously, I do really
know where the place I must join together. I want to be a right woman on the right
place. Aku ingin bekerja itu nggak asal-asalan. Aku ingin bekerja itu pakai
hati, sehingga aku bisa berkarya maksimal. Sehingga bekerja bukan lagi sebuah
beban bagiku karena aku bahagia melakukannya. I know my talent, that’s why I want to maximize it on the right place.
Aku rindu mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan passionku, sehingga aku nggak perlu terus-menerus melihat jam dan
menunggu waktu pulang karena aku tersiksa di pekerjaan yang ‘bukan aku’.
Beberapa minggu ini aku
mulai mendoakan pekerjaan ku. Ini semacam therapy untuk mengalahkan
keegoisanku. Apa yang kuanggap benar kan belum tentu juga dianggap benar
olehNYA. Aku mulai berdoa, aku mulai meminta agar Tuhan mendekatkan aku ke
pekerjaan yang memang passionku, dan
aku berharap ini bukan wujud ego ku, melainkan wujud dari sebuah kerinduan
bahwa aku ingin bekerja dengan hati, aku ingin berkarya maksimal di tempat yang
nantinya Tuhan percayakan untukku. Aku sedang berjuang sekarang. Aku bukan
pengangguran, aku bukannya tidak ngapa-ngapain. Aku menunggu Tuhan tempatkan
aku di tempat yang seharusnya IA inginkan aku berada dan berkarya. Aku ingin
bahagia dengan pekerjaanku. Aku ingin bekerja diatas pijakan intuisiku. Karena
kuyakin aku akan bahagia dengan itu. Steve Jobs bilang : “Have
the courage to follow your heart and intuition.” Itulah kunci kebahagiaan hidup menurut Jobs :
mengikuti kata hati! So..
May God leads all the job seekers!