Sabtu, 07 Desember 2013

I Even Can't Forget My Daddy's Love

"The reason why daughter's love their Dad the most is : that there is at least one man in this world who will never hurt her."
Beberapa hari ini kebetulan saya sering sekali membaca cerita tentang Ayah. Mungkin hanya kebetulan terlintas di setiap sosial media yang saya akses, tapi dari kebetulan inilah saya tergerak menuliskan cerita tentang Bapak saya. As I know, ini adalah kali pertama saya menuliskan cerita tentang Bapak. Agak canggung sih, tapi memang ada kerinduan untuk ini.

Dari kecil, saya sudah terbiasa ditinggal bekerja oleh Bapak saya. Entah itu saat dia masih bekerja di perusahaan asuransi tempatnya pertama kali bekerja ataupun saat dia sudah kehilangan pekerjaan itu dan mulai berganti-ganti pekerjaan dari yang satu ke yang lain, Bapak memang tidak biasa menghabiskan banyak waktu berada dirumah.

Bapak selalu punya kesibukan diluar rumah, entah itu urusan pekerjaan, mencari nafkah ataupun banyak hal lainnya. Bisa dikatakan kedekatan saya dengan Bapak jauh berbeda dengan kedekatan saya dengan Mama. Jika dengan Mama, saya terbiasa curhat-curhatan mulai dari masalah pendidikan hingga pacar, lain halnya dengan Bapak yang sepertinya sulit sekali saya ajak bercerita seperti dengan pada Mama. Mungkin saya yang canggung memulainya, atau mungkin juga karena tidak pernah dibiasakan dari kecil. Obrolan kami hanya sebatas hal-hal umum saja, meski terkadang Bapak saya yang punya selera humor terkadang mengajak kami semua bersenda gurau.

Dari sedikit cerita menyentuh tentang Bapak saya, ada satu peristiwa yang saya ingin bagikan tentang Bapak saya. Cerita yang sampai membuat saya menangis ketika peristiwa itu baru saja berlalu, cerita yang menyadarkan saya bahwa pengorbanan seorang Bapak memang nyata di hidup saya.

Saya lupa waktu itu tahun 2010 atau 2011, pernah sekali setelah libur Natal dan Tahun Baru saya hendak pulang ke Medan, kota tempat saya merantau karena menempuh pendidikan sarjana saya. Saya memilih kembali ke Medan pada hari terakhir libur karena masih ingin berlama-lama dirumah.

Kalau saya tidak salah, waktu itu tanggal masuk kuliah adalah tanggal 6 Januari dan saya kembali ke Medan pada tanggal 5 Januari. Salahnya saya di hari itu adalah saya memilih berangkat sore (sekitar jam 3) dari rumah, saya tidak menyangka bahwa puncak arus balik (khususnya arus balik mahasiswa) adalah di tanggal 5 Januari itu. Dengan santainya saya pergi jam 3 dari rumah dan menuju terminal bus yang dari dulu sudah menjadi pilihan angkutan saya jika hendak pulang-pergi Medan-Siantar.

Sesampainya di terminal saya kaget bukan main melihat penumpang membludak dan ternyata sudah menunggu berjam-jam untuk bisa pulang ke Medan. Perasaan panik saya terjawab ketika bagian loket mengatakan tiket sudah habis dan tidak dijual lagi karena ledakan penumpang sudah tidak sebanding dengan bus yang tersedia. Saya tidak putus asa. Saat itu saya langsung mendatangi beberapa taksi dan alternatif angkutan lain selain bus itu untuk tetap bisa pulang ke Medan. Satu jam saya mencari-cari, ternyata tiket sudah tidak dijual lagi. Masalahnya sama, penumpang meledak sedang angkutan terbatas. Kecewa dengan hal itu, saya kembali pulang kerumah.

Dirumah ada Bapak yang pertama sekali melihat kedatangan saya. Bapak terkejut kenapa saya kembali lagi kerumah. Setelah saya ceritakan kenapa, Bapak langsung mengambil hp dan menghubungi beberapa temannya yang berkerja di jasa angkutan. Kecewa, semua teman Bapak mengatakan bahwa bus/taksi sudah penuh dan tiket sudah habis.

Bapak yang melihat saya panik, langsung memutar kepala untuk mencari solusi. Saya benar-benar harus pulang hari itu juga karena esoknya saya ada tiga mata kuliah yang dimulai dari jam 8 pagi. Pikir punya pikir akhirnya Bapak memutuskan bahwa dia akan menemani saya mencari bus apa saja yang bisa mengantarkan saya ke Medan, tapi kali ini tidak di terminal tempat saya pertama sekali mencari bus. Kami berburu bus ke Terminal Parluasan karena menurut Bapak, lebih banyak bus ke Medan lewat stasiun ini.

Sampai di terminal kami juga kaget karena di terminal ini, calon penumpang ke Medan jauh lebih banyak dan 80% nya adalah mahasiswa sama seperti saya. Bapak dan saya sepakat tetap menunggu tapi hanya maksimal satu jam. Jika lewat dari satu jam menunggu bus tak kunjung datang, maka saya akan batal pulang.

Hampir setengah jam menunggu, tiba-tiba mucul satu bus besar yang kosong. Mungkin tadinya bus ini tidak akan jalan, tapi melihat jumlah penumpang yang membludak akhirnya bus ini keluar dari garasinya. Dari jarak 200m dari kedatangan bus, penumpang sudah siap sedia untuk berebut kursi kosong di bus itu. Ada ratusan penumpang yang sudah menunggu, sementara kapasitas bus tak kurang dari 100 orang. Tak perlu membeli tiket terlebih dahulu jika memakai sistem berebut seperti itu. Tiket akan dibayar di dalam.

Melihat ratusan orang yang akan berebut masuk ke dalam bus tersebut, Bapak saya langsung mengambil inisiatif untuk ikut dalam rebutan kursi itu. Bapak bilang "Pi, nanti biar aku aja yang rebut kursimu. Nanti kalo udah dapat kursi, Bapak langsung duduk terus Bapak panggil kau dari dalam. Nanti kau masuk, langsung gantikan tempat Bapak duduk, soalnya kalo main rebutan gini siapa yang kuat itulah yang menang."

Meski kaget dengan ide Bapak, saya setuju. Waktu itu kebetulan juga hujan sedang turun. Tidak deras memang, tapi cukup untuk membuat baju basah kuyup. Saya menunggu di bawah atap terminal dan dengan jeli melihat ke arah Bapak. Benar saja, begitu bus berhenti ratusan orang langsung berebut masuk kedalalamnya. Semuanya tidak peduli dengan satu sama lain. Sistem rebutan yang benar-benar memakai hukum rimba. Tujuannya adalah bisa mendapat tempat dalam bus. Sampai banyak yang berdiri dan tidak peduli, asal dia bisa masuk bus dan diantar ke Medan.

Sekitar 15 menit aksi dorong-dorongan dan rebutan terjadi, saya melihat Bapak melambaikan tangan dari tempat duduk dekat jendela. Artinya saya yang tadi berlindung dari hujan harus masuk ke bus untuk menggantikan tempat Bapak. Di bus sudah banyak orang yang berdiri dan saya harus berjuang untuk bisa meraih tempat duduk Bapak. Sedih sekali karena begitu saya sampai ke tempat Bapak duduk, saya melihat dia sudah basah kuyup karena aksi rebutan tadi.

Sebaliknya, Bapak kelihatan begitu lega karena berhasil mengambilkan satu tempat duduk untuk puterinya padahal banyak orang yang sampai harus berdiri karena tidak mendapat tempat. Setelah menggantikan tempatnya, saya menyalam Bapak untuk pamitan dan Bapak kembali harus berjuang untuk bisa keluar dari bus yang penuh dengan himpitan orang-orang yang berdiri itu. Sampai saya melihat Bapak berhasil keluar, saya mendadah Bapak lalu bus segera berlalu.

Saya sampai menangis waktu itu teringat Bapak yang basah kuyup karena keteledoran saya yang pulang di sore hari. Seharusnya jika ingin mendapatkan bus, saya harus pulang sejak pagi harinya. Dan yang paling sakit waktu itu adalah saya bahkan tidak sanggup mengatakan betapa saya terharu dan berterimakasih untuk pengorbanan Bapak kali itu.

Dan di hari itu saya percaya bahwa pengorbanan seorang Ayah itu sungguh nyata meski tidak sesering yang kita lihat dengan pengorbanan yang dilakukan oleh seorang Ibu. Sejak hari itu saya percaya bahwa kasih sayang seorang Ayah tidak kalah dengan kasih sayang seorang Ibu. Seketika saya ingin memeluk Bapak waktu itu, sedih sekali karena saya bahkan sudah tidak ingat kapan terakhir kalinya memeluk Bapak.

Sahabat, jangan pernah meragukan kasih sayang Ayah kalian. Ayah/Bapak/Papa/Papi/Abi atau entah apapun kalian menyebutnya. Mereka mungkin terkesan diam dan tidak peduli, tapi kita tidak pernah tahu apa yang mereka pikirkan, apa yang mereka rasakan terlebih apa yang mereka sudah lakukan untuk kita, putera-puteri tercintanya. Love U'r Daddy like U Love U'r Mom. Kasih Ibu sepanjang masa, kasih Ayah bisa jadi tidak terlihat mata. Tapi jika kita membuka mata lebar-lebar, pengorbanan seorang Ayah sesungguhnya nyata dan tidak ternilai dengan apapun jua.




One day an 11 year old girl asked her daddy,
“What are you going to get me for my 15th birthday?”
The father replied, “There is much time left.”

When the girl was 14 she fainted and was rushed to the hospital.
The doctor came out and told her dad she had a bad heart; she is probably gonna die
When she was lying in the hospital bed she said
“Daddy,. have they told you i am going to die ?”
The father replied no you will live as he left weeping.

She said “How can you be sure.”
He turned around from the door and said “I know.”
.
She turns 15 when she is recovering and comes home to find a letter on her bed. It says ;
“My Dearest Daughter, if you are reading this it means all went well as I told you.

One day you asked me what I was giving you for your 15th birthday,
I didn’t know then but now my present to you is MY HEART.” Her father donated his heart ♥

Tidak ada komentar:

Posting Komentar