Sabtu, 04 Januari 2014

Filosofi Sayap Ayam

~Ini cerita agak filosofis. Mama sendiri yang mengingatkannya.~


Liburan Natal dan Tahun Baru cukup menjadi alasan bagi Mama untuk masak enak dirumah. Untuk liburan musim ini, Mama memilih menyembelih ayam kampung yang sudah dibesarkan dengan tangannya sendiri. Saya tentu menjadi asisten Mama saat beliau menyiapkan masakan istimewa ini.

Kami memilih ayam jantan yang paling besar dan yang paling bohai untuk disembelih dalam rangka menyambut malam pergantian tahun. Selesai menyembelih ayam dan menyiapkan segala bumbu, tiba-tiba Mama teringat sesuatu. Mama teringat akan bagian dari tubuh ayam yang dari saya kecil telah menjadi bagian favorit saya. Hebatnya saya, sejak kecil hingga sekarang, tiada satupun orang rumah yang menjadi saingan saya mendapatkan bagian tubuh ayam yang satu itu.

Bagian yang saya maksudkan itu adalah : "SAYAP AYAM". Ini merupakan bagian sakral dari organ tubuh ayam yang harus dan wajib dipersembahkan untuk saya tiap kali ada sembelihan ayam dirumah. Hahaha. Dari kecil, saya memang menyukai bagian yang satu ini. Saya ngga tau sih gimana awalnya, tapi seingat saya, dari saya SD, saya sudah menjadi pemburu sayap tiap kali ada masakan ayam dirumah saya ataupun dirumah keluarga saya yang lain.

Dari dulu setiap kali Mama masak ayam, Mama selalu mengingatkan seluruh penghuni rumah bahwa bagian sayap adalah milik saya. Walaupun sesungguhnya saya tidak pernah mengklaimnya, tapi aturan tidak sengaja ini sepertinya diterima oleh semua orang rumah. Mulai dari Bapak, Mama, Abang dan Dedek, semuanya secara sadar tidak akan memakan sayap ayam jika saya ada dirumah karena mereka tahu itu adalah bagian favorit saya. Saya tidak hanya mendapatkan salah satu bagiannya, tapi bisa keduanya. Sayapnya -baik yang kanan maupun yang kiri- adalah jatah saya. Bayangkan kengeriannya!

Saya jadi ingat filosofi yang pernah saya dengar dari beberapa keluarga saya tentang sayap ayam ini. Sewaktu ada acara dirumah keluarga dari pihak Mama saya, kebetulan masakan yang disajikan adalah ayam gulai. Mama sepertinya begitu hapal dengan keinginan saya, sehingga saat acara makan bersama Mama bilang: "Eh, sayapnya kesukaan si Epi tuh. Kasih sayapnya sama dia yah." Dan saat Mama bilang gitu, secara spontan salah satu anggota keluarga saya bilang: "kalo suka sayap tandanya suka merantau loh, suka terbang kemana-mana, panjang kakinya". Hahaha, saya sih dulu ngga pernah menganggap serius filosofi itu.

Kejadian yang sama juga terjadi saat keluarga saya makan bersama sehabis ziarah dari makam orangtua Opung saya. Kala itu kami disuguhkan makanan Ayam (Dayok) Nadiatur. Dayok Nadiatur adalah makanan khas Simalungun (by the way, saya Simalungun). Dan begitu ayam dibagikan, Mama seperti biasa juga sangat hapal gerak tubuh saya yang mengincar sayap ayam. Ketika Mama bilang saya menginginkan sayap ayam, sontak salah satu Makkela (Paman) saya bilang: "Wah, suka sayap ya? Suka terbang lah ya. Suka berpetualang".

Kalau dipikir-pikir mungkin sangat wajar mengapa sayap ayam dikatikan dengan filosofi suka jalan-jalan, gemar berpetulang, perantau dan hal lain yang melibatkan aktivitas berlari dan terbang. Kan sudah jelas, sayap fungsinya adalah untuk terbang, untuk berpindah dari satu titik ke titik lainnya. Untuk bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya.Flashback Mama di dapur mengingatkan saya akan filosofis ini. Saya -si penyuka sayap ayam-. Apakah benar filosofi sayap ayam ini cocok untuk diri saya? Let's see!

Kalau dibilang suka jalan-jalan,
Wah jangan ditanya deh. Iya, saya suka, selalu suka dan akan terus suka jalan-jalan. Saya suka berkunjung ke tempat yang baru, apalagi jika tempat itu adalah obyek wisata baik wisata alam maupun budaya. Tempat favorit di list teratas saya adalah pantai. Sebenarnya saya juga suka daerah perbukitan dan gunung, tapi saya punya masalah dengan yang namanya hawa dingin. Saya tidak terlalu kuat dengan udara dingin. Rasanya dingin itu bisa meremukkan tulang-tulang saya. Namun biarpun begitu, saya masih suka hunting wilayah perbukitan dan gunung untuk dikunjungi.

Satu hal yang menjadi refleksi saya dari filosofi sayap ayam itu adalah perihal suka merantau ataupun suka berpetulang. Hmm, agaknya filosofi sayap ayam ini menyuruh saya bertanya pada diri saya, benarkah saya siap merantau? Benarkah saya si petualang sejati itu? Apakah saya siap berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain?

Agak berat menjawabnya, karena saya sudah tahu apa jawabnya. Saya, yang saat ini tengah berjuang untuk lepas dari zona nyamannya kembali merimang-rimangi filosofi sayap ayam yang sederhana namun hebat itu. Saya, yang saat ini sulit sekali move dari 'tempat' saya yang sekarang kembali mempertanyakan benarkah filsosofi sayap ayam itu cocok untuk saya?

Sejak mama mengingatkan soal sayap ayam, saya agak kepikiran dengan filosofinya. Saya, yang hingga saat ini berat melepas apa yang saya punya tergugah untuk bertanya: "Apakah saya belum BISA melepas, ataukah belum MAU melepas?". BISA dan MAU tentu adalah dua hal yang berbeda. Jika kita mau, kita pasti bisa, kita pasti dapat kekuatan entah darimanapun itu. Tapi jika kita tidak mau, bagaimana mungkin kita akan dimampukan?

Saya mungkin sudah terlalu nyaman dengan apa yang saya punya di kota saya yang sekarang ini. Sahabat, kekasih, keluarga, dan semuanya membuat saya berat melangkah keluar dari kota ini. Padahal ini saya, Evi si penyuka sayap ayam. Bukankah seharusnya filosofi yang melekat pada sayap ayam ini juga melekat pada diri saya?

Malam terakhir di tahun 2013 saya makan sayap ayam favorit saya, pagi hari pertama di tahun 2014, saya makan bagian sebelahnya lagi. Saya -si pemburu sayap ayam- sungguh saat ini tengah berjuang agar filosofi sayap ayam yang saya makan itu melekat pada diri saya. Saya ingin dan akan berusaha menjadi pemberani dan menjadi petualang sejati. Evi, si penyuka sayap, mengapakah kamu takut untuk terbang? Bukankah pemandangan dari atas sana jauh lebih indah??

Tidak ada komentar:

Posting Komentar